Intimidasi Kiriman Kepala Manusia Ke Wartawan dan Cerita Saya di TIM
Cipasera - Intimidasi terhadap wartawan umurnya, barangkali sudah sangat tua. Ada macam- macam bentuknya. Ancaman langsung atau melalui pesan seperti terhadap wartawan Tempo (bingkisan kepala babi dan tikus).
Ancaman bingkisan kepala babi tergolong kurang sadis. Ada yang lebih sadis, bingkisan kepala manusia yang dikirim untuk wartawan Peter A.Ruhi sebagai Redpel "Suara Indonesia" (SI) pada 16 November 1983. SI adalah surat kabar harian yang terbit di Malang, Jawa Timur.
Peter dan SI memang getol memberitakan Petrus, yakni akronim penembakan misterius. Disebut petrus karena preman dan gali (gabungan anak liar) di tahun 1983 merupakan target operasi senyap itu. Di Malang cukup banyak yang kena Petrus. Salah satunya, seorang petinju muda bernama Jhoni Mangi, anak seorang aparat. Di Jawa, orang yang mati kena Petrus ada sekira 1000 orang (komnas HAM).
Peter dan SI peduli terhadap penembakan misterius. Sejauh yang saya ketahui, menurut SI Petrus itu melanggar Hak Azazi Manusi. Manusia ditembak seenaknya hingga dead. Dia menyuarakan itu terus menerus hingga beritanya sampai keluar negeri. Tokoh HAM Belanda pun berteriak, bahwa pemerintah Orde Baru melakukan pelanggaran. Ketua IGGI JP Pronk dan PM Belanda turun tangan.
Setelah itu, seperti cerita di atas, Peter dapat kiriman kepala manusia di kantor SI. Tentu saja gegerlah Indonesia. Esoknya, SI tak terbit. Tapi hari berikutnya terbit lagi dan konsisten dengan sikapnya.
Saya dulu juga sering dapat ancaman ketika jadi redaktur pelaksana tabloid C&R karena sering menulis skandal pejabat dan selebriti. Ancaman melalui telepon.
Salah satunya insiden yang disaksikan banyak wartawan, ketika saya dimarahi seorang mantan menteri berpengaruh di zaman Orba. Dari gestur dan perkataannya jelas intimidasi terhadap diri saya. Dan itu semua gara - gara C&R menampilkan cover story : pengakuan artis yang jadi istri muda Menteri berpangkat perwira tinggi, tahun 1998.
Tiba -tiba usai pertunjukan WS Rendra baca puisi di TIM (taman ismail marzuki) Jakarta, mantan menteri sohor itu turun dari pintu gerbang pertunjukan. Saya langsung doorstop kepadanya. Dia agak kaget dan bilang, eh...kamu Teguh. Dan langsung nyerocos. Tau nadanya bicara meninggi dan ekpresi wajah emosi, teman - teman wartawan yang tadinya ikut merubung, langsung mundur. Termasuk Kushindarto Darto almarhum, fotografer C&R. Semua kata- kata mantan Menteri itu saya jawab.
"Kalau tulisan saya ada yang salah, tolong tunjukkan di alinea berapa dan apa kalimatnya. Kalau saya salah, silahkan proses hukum, Pak, " kata saya.
"Bukan benar atau salah. Saya kasih tau, tulisanmu dampaknya buruk terhadap lingkungan saya. Kamu pikir !" Jawab mantan Menteri itu. Lalu dia "menguliahi" saya tentang etika dll dengan nada sedikit tinggi.
Belum sempat saya balas menjawab, sopir dan ajudan mantan menteri itu datang memeluk bosnya dan menuntunnya masuk ke mobil yang sudah terpakir depan pintu gerbang gedung pertunjukan Graha Bhakti Budaya.
Lega hati saya dia masuk mobil. Eh...mantan Menteri itu buka pintu mobil lagi, akan menghampiri saya. Mungkin belum puas "ngobrol" sama saya. Tapi sang sopir segera mencegah dan membimbingnya kembali ke mobil.
Usai insiden, seorang rekan surat kabar harian terkenal bilang, " Guh, gue sudah kokang tustel. Kalau kau ditabok, kau jadi HL ( head line). Payah, ga jadi orang terkenal lue " katanya seloroh.
Esoknya saat di kantor, Pemred C& R Ilham Bintang bertanya pendek," Guh gimana semalam?" katanya. Rupanya sudah ada laporan masuk kepadanya, pikir saya. "Aman, Pak," jawab saya singkat sambil cari kupi.
Sekira dua tahun kemudian, tilpon saya berdering. Begitu saya angkat, suara di seberang menyapa lembut. Suara dan intonasinya mirip sekali dengan suara mantan menteri itu. Setelah basa basi, dia pingin traktir ngupi saya sambil bincang- bincang santuy.
"Maaf Pak, saya lagi sakit perut. Kapan- kapan saja Pak," jawab saya. Saya tentu tak percaya, bahwa suara itu suara Bapak itu. Soalnya, beliau pernah kirim SMS sama saya, intinya dia ingin berkawan. "Ternyata kamu suka nulis puisi juga, ya hehe...". Dan saya balas terima kasih Pak. Saya hormat sama Bapak. Al Fatikah. (Teguh Wijaya).
*Penulis wartawan senior.