UMB Apresiasi PWI Jaya Tularkan Skill Storytelling
Cipasera - Universitas Mercu Buana mengapresiasi upaya PWI Jaya untuk turun secara langsung ke kampus menularkan kemampuan storytelling yang menjadi kebutuhan praktisi untuk bersaing di dalam industri komunikasi.
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi bertajuk “Berbagi Tips Menulis Storytelling di Media” yang merupakan rangkaian penghargaan Anugerah Jurnalistik MH Thamrin 2023. Penghargaan yang digelar setiap tahun oleh PWI Jaya merupakan puncak karya jurnalistik profesional dan kampus.
Dalam kegiatan tersebut menghadirkan Dwi Wulandari (Editor Majalah MIX), Dudi Iman Hartono (Dosen Ilmu Komunikasi UMB) dan Algooth Putranto (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya).
“Diskusi hari ini merupakan peluang berharga untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan kreativitas dalam menggunakan storytelling sebagai alat untuk menyampaikan pesan dengan lebih efektif,” tutur Dr. Ariani Kusumo Wardhani, Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Kemahasiswaan Universitas Mercu Buana (UMB), Senin (14/8).
Storytelling, lanjutnya, dalam konteks apa pun, memiliki kekuatan luar biasa untuk menginspirasi, memotivasi, dan mengubah pandangan kita. Dalam dunia pendidikan, storytelling memiliki peran yang sangat penting dalam membantu para pendidik dan mahasiswa menyampaikan ide, menggugah imajinasi, dan menjembatani pemahaman yang kompleks.
Pada kesempatan yang sama, Ketua PWI Jakarta Sayid Iskandarsyah menyatakan kolaborasi kampus UMB dan organisasi wartawan merupakan wujud link and match antara dunia pendidikan dan industri media.
“Kami meyakini kegiatan yang PWI Jaya lakukan hari ini adalah hubungan nyata antara dunia pendidikan dan industri. Mahasiswa mempelajari hal-hal yang terjadi langsung di industri, sebaliknya industri menyerap apa yang dikaji dan digeluti secara akademis,” tuturnya.
Dwi Wulandari dalam paparannya menjelaskan kemampuan storytelling tidak hanya untuk pemasar atau pengiklan, dalam kondisi saat ini pendekatan storytelling juga bisa digunakan oleh para praktisi Public Relations (PR) untuk membuat siaran pers yang menarik, sehingga jurnalis sebagai target mereka, mau menjadikannya sebagai bahan pemberitaan.
“Pendekatan storytelling juga bisa digunakan oleh para wartawan untuk membuat artikel, sehingga pembacanya tertarik untuk membacanya sampai tuntas, bahkan membagikan artikel tersebut kepada komunitasnya melalui platform medai sosial mereka misalnya,” tuturnya.
Dia mengingatkan storytelling bukan sekadar bercerita. Akan tetapi, juga harus mampu mengajak audiens untuk merespon, bahkan terlibat atau berpartisipasi dalam cerita tersebut. Dan, sebagian besar interaksi berasal dari hubungan yang sudah dibangun antara storyteller dengan audiens.
Senada dengan Dwi, Algooth Putranto mengingatkan para mahasiswa agar kembali pada akar storytelling adalah tradisi dongeng yang sudah diakrabi oleh semua orang sejak belia dan secara tak sadar terus menerus dikembangkan dalam keseharian.
“Kuncinya adalah menyusun cerita tersebut menjadi menarik dan dekat dengan target audiens. Gunakan bahasa yang sesederhana mungkin sehingga dekat dan tidak terkesan menggurui. Untuk mahasiswa harus rajin bergaul dan buka mata-telinga pada lingkungan,” tuturnya.
Menurut Dudi Iman Hartono teknologi membuat storytelling semakin mengarah pada transmedia storytelling yakni struktur naratif yang dikembangkan melalui dua dimensi yang berbeda, yaitu verbal dan nonverbal dengan menggunakan media seperti bioskop, komik, televisi, video games, dan lain-lain.
“Patut disadari generasi Z adalah generasi yang sangat visual. Namun tanpa membaca dan menulis yang baik maka proses transmedia storytelling yang dilakukan tidak akan berwujud rapi dan enak untuk dinikmati,” paparnya.
Ketiga pembicara optimistis transmedia storytelling yang menjadi tren saat ini tidak akan mematikan tuntutan kemampuan membaca dan menulis karena justru tren Alpha--generasi setelah Gen Z—justru merupakan generasi pembaca. Hal ini terlihat dari tren membaiknya penjualan buku maupun oplah media cetak.
“Jika Anda para Gen Z sekadar melihat tren saat ini maka Anda melewatkan kesempatan 10 tahun ke depan, tren generasi Alpha yang justru cenderung menjauhi smartphone dan media sosial,” pungkas Algooth.*