Megawati dan Tukang Bakso
Catatan Mas Blangkon*
Malam tadi sehabis sholat mahrib, aku ketemu tukang bakso cuanki saat sedang olahraga jalan cepat. Karena perut lapar, ia aku panggil."Kang baksonya...". Seorang laki-laki,rambut agak panjang dibalut topi, dengan muka ramah segera mendekat. Menyiapkan pesanan aku, semangkok bakso cuanki. Seperti kebiasaanku, aku ajak ngobrol dia.
"Anak berapa kang?"
Laki -laki asal Garut, Jawa Barat itu kemudian cerita panjang lebar -lebih menyerupai curhat- soal rumah tangganya. Di usia 25 tahun, ia sudah jadi duda. Cerai dua tahun lalu, saat anaknya baru umur 3 bulan. Musababnya, kata dia, mertuanya terlalu ikut campur. Ngatur ini itu, termasuk minta jatah penghasilannya sebagai penjual bakso cuanki keliling.
"Namanya jualan begini ya pak? Kadang dapat banyak kadang enggak. Pusiang saya mah kalau sudah direcoki mertua,"keluhnya.
Dengar ia bercerita, aku tetiba ingat video viral Megawati, yang saat mewanti wanti anaknya cari jodoh, jangan seperti tukang bakso. Pidato saat rapat kerja nasional (rakernas) PDI Perjuangan itu kemudian segera dinetralisir, dengan mengundang dua gerobak bakso, dan para elit partai makan ramai ramai di akhir acara rakernas. Hanya sayang, rekaman video itu lantas "dimasak" menjadi beragam "hidangan" yang kini hilir mudik di lini massa.
Tentu saja tidak semua tukang bakso bernasib seperti pedagang bakso cuanki di awal tulisan. Di awal awal aku bekerja sebagai wartawan di tabloid "Peluang", seorang pedagang bakso asal Wonogiri mengaku bisa untung jutaan rupiah tiap harinya dari warung baksonya. Kebetulan ia merintis dari dagang bakso keliling. Setelah dewi fortuna berpihak dan rajin menabung, ia tak hanya punya warung bakso cukup mentereng, tapi juga buka penggilingan daging bakso.
Mega tidak salah. Sekelas anak mantan presiden RI, tentu tidak level punya menantu seperti tukang bakso. Tapi sebagai ketua umum partai yang mengaku sebagai partainya wong cilik, guyonan itu rasanya memang menyakitkan. Pertama, itu bisa jadi stigma buruk buat tukang bakso, seolah olah mereka semua adalah orang susah.
"Bisa bisa ibu ibu pada mikir kalau anak gadisnya mau dilamar tukang bakso. Padahal khan banyak juga tukang bakso yang tajir,"kata teman politisi.
Kedua, disaat pemerintah kewalahan menyediakan lapangan pekerjaan, para intepreneur dibidang kuliner seperti bakso adalah "pahlawan" yang harus diakui eksistensinya. Mereka tidak pernah rewel meminta fasilitas kredit seperti para konglomerat, tidak juga ngambekan minta dikasih keringanan pajak dan lain lain ke pemerintah.
Tapi yang lebih fatal adalah, Mega telah menjadikan konstituen partainya sebagai olok olokan yang "kurang cerdas".
Dulu saat orde lama berjaya, ada partai yang mengidentikan sebagai partainya kaum buruh dan tani. Dalam banyak kegiatan, isu yang dimainkan adalah menghantam kaum kapitalis, borjuis, dan para tuan tanah yang kaya raya. Dalam konteks ini, mestinya Mega bisa berujar, ia tidak mau anak-anaknya menikah dengan para pejabat korup, yang jelas jelas kekayaannya dari hasil menggarong uang negara. Bukan wong cilik seperti tukang bakso, yang selama ini selalu dibelanya.
Memang tidak mudah juga memberi edukasi pada masyarakat, bahwa selama ini keberadaannya hanya dibutuhkan dibilik suara. Ucapan Megawati itu menjadi bukti, jika jualan wong cilik oleh partainya, tidak lepas dari kepentingan pendek pemilihan umum, dan sesudahnya elit parpol lebih suka menikmati kekuasaan yang berhasil diraihnya. Mau minyak goreng langka, cabe mahal, BBM naik terus, kita hanya bisa mengeluh, tanpa bisa berbuat banyak.
Sebagai penggemar berat bakso, aku juga sempat berfikir, kejadian ini mungkin bisa jadi momentum bagus para tukang bakso untuk menghimpun diri dalam sebuah paguyuban. Bagaimana pun, ada hal yang harus diperjuangkan, diluruskan, dan ditegakan, ketika "citra" mereka mendadak direndahkan, tidak sepi sepi begini. Karena faktanya, para tukang bakso itu berkontribusi maksimal, hingga Gubernur Anies pun mengundang salah satu pengusaha Bakso Malang, saat ramah tamah suksesnya perhelatan Formula E.
"Terus ada rencana nikah lagi?"tanya aku pada penjual bakso cuanki tersebut.
"Belum pak. Ya penginnya sih dapat yang mau nerima apa adanya,"katanya.
"Ya, sabar kang. Insyallah jodoh pasti ada..."
"Aamiin pak..."
Kubayar semangkok bakso Rp 10 ribu. Aku kembali menyusuri jalan, mencoba memaksa keringat keluar, dan sayup sayup tukang bakso itu kembali menggetok kentongan kecil yang menggantung di pikulannya, hingga terdengar bunyi 'tok', 'tok', 'tok'...."So baksooooo...."
Jakarta, 26 Juni 2022
*Mas Blangkon adalah nama pena. Penulis ini mantan Pemred tabloid C & R