Ibu Kota Baru Meski Banyak Ditolak Tapi Tetap Jalan
Cipasera - Rencana memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke kota baru yang didengungkan bernama Nusantara di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur tetap berjalan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi alasan, pemindahan tersebut sangat penting.
“Saya ingin menegaskan mengenai pembangunan ibu kota baru bahwa ibu kota baru kita ini adalah bagian dari transformasi besar-besaran yang ingin kita lakukan," kata Jokowi dalam pengarahannya yang ditayangkan di YouTube Sekretariat Presiden.
"Pembangunan ibu kota baru bukan semata-mata memindahkan fisik kantor pemerintahan. Tujuan utama pembangunan adalah membangun kota baru yang smart, kota baru yang kompetitif di tingkat global, membangun lokomotif baru untuk transformasi negara kita menuju Indonesia yang berbasis inovasi dan teknologi," imbuh Jokowi.
Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) saat rencana pemindahan ibu kota negara diluncurkan pada Agustus 2019, luas keseluruhan lahan pemerintah yang akan dimanfaatkan untuk ibu kota baru adalah 180 ribu hektar, atau 1800 km2. Sebanyak 40 ribu hektar atau setara 400 km2, akan menjadi kawasan induk ibu kota baru.
Total anggaran yang diperlukan untuk pembangunan ibu kota baru, menurut paparan Presiden Jokowi yang disampaikan pada pertemuan Indonesia-Persatuan Emirat Arab Investment Forum di Dubai, Uni Emirat Arab pada 4 November 2021 adalah sebesar 35 milar dolar AS atau sekitar Rp501 triliun. Merujuk pada Undang-undang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang disahkan DPR pada 18 Januari 2022, skema pembiayaan ibu kota negara baru berasal dari dua sumber, yaitu: APBN dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 24 ayat 1 UU IKN).
Meski sudah bisa dipastikan Ibu Kota baru tersebut akan direalisir, suara penolakan tetap masih menggema disana - sini.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) misalnya, menolak rencana pemindahan ibu kota baru dengan mengusung alasan kerusakan lingkungan dan sosial. Menurut Direktur WALHI Kalimantan Timur, Yohana Tiko, setidaknya ada tiga permasalahan terkait dengan pemindahan ibu kota negara.
Pertama adalah potensi konflik sosial karena pemindahan ribuan Aparatur Sipil Negara (ASN) dikhawatirkan mendesak populasi penduduk di 72 desa yang terdampak proyek ibu kota negara baru. Kedua adalah peluang pemutihan tanggung jawab korporasi atas konsesi tambang, perkebunan, kehutanan, dan lain-lain usaha yang berada di wilayah calon ibu kota baru, yang telah mengakibatkan kerusakan lingkungan. Ketiga adalah ancaman terhadap daya dukung lingkungan yang meliputi tata kelola air, perubahan iklim, flora dan fauna, serta polusi.
Lembaga survei KedaiKopi pada Desember 2021 melakukan survei dengan hasil 61,9 persen responden menolak pemindahan ibu kota negara. Dari total persentase itu sebanyak 38,3 persen tidak setuju tanpa alasan, 18,4 persen menolak karena alasan tempat yang tidak strategis, 10,1 persen dengan alasan Jakarta masih sangat representatif, 5,6 persen khawatir pemindahan akan membuat utang negara membengkak, dan 4,7 persen beralasan pemindahan ibu kota negara akan mengubah sejarah.
“Saya melihat ini sedang berproses dan nantinya bagaimana sosialisasi serta pemerintah atau stakeholder terkait memberikan penjelasan lebih detail kepada publik. Oleh karena itu, semua anak bangsa harus bisa memberikan waktu kepada pemerintah supaya bisa menjelaskan dengan gamblang terkait pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Salah satu tujuan dari pemindahan ibu kota negara adalah membangun identitas bangsa Indonesia dan memperkuat posisi di mata dunia. Jadi sebaiknya pro dan kontra ini kita hindarkan," ujar Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat, seperti dikutip Antara.
Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi, sudah jamak jika pro kontra terhadap keputusan pemerintah selalu muncul. Namun Lestari Moerdijat yakin, pemerintah punya langkah strategis untuk melaksanakan rencana pemindahan ibu kota negara.(red/VOI)