Mengulik Rebo Wekasan, Boleh atau Tidak
Acara Rebo Wekasan (ilustrasi)
Kemarin membaca banyak akun menulis soal Rebo Wekasan. Ada yang paham, ada yang tak paham tapi sok-sok paham. Jika mau ditelusuri, Rebo Wekasan itu tradisi masyarakat lama, termasuk masyarakat Jahiliyah, yang menganggap Rabu terakhir di bulan Safar, banyak membawa sial.
Safar itu merujuk pada kata "Shafr", artinya kosong (saya dibelikan follower saya, kitab Lisanul ‘Arab karya Ibnu Mandzur). Kenapa kosong? Karena masyarakat Jahiliyah pada bulan Safar pergi dari rumah masing-masing sehingga rumah kosong dan kota Mekah sepi. Menghindari sial.
Masyarakat Jahiliyah menganggap bulan Safar, bulan penuh kesialan, tasya'um. Nabi Muhammad membantah anggapan masyarakat Jahiliyyah. Percaya bulan Safar pembawa sial, termasuk salah satu jenis tathayyur (menganggap kesialan karena sesuatu) yang terlarang. Ini Nabi yang bersabda.
Kalau mau mengenang bulan Safar, kenanglah peristiwa heroik pada bulan tersebut; pernikahan Nabi Muhammad dengan Sayyidah Khadijah, pernikahan Sayyidina Ali dengan Sayyidah Fatimah, penaklukan Khaibar, perang pertama dalam Islam, Perang Abwa, Hijrahnya Rasulullah ke Madinah.
Nabi Muhammad bersabda: "Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Shafar" (HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad (II/327)).
Bagaimana dengan tradisi Rebo Wekasan di sebagian masyarakat Jawa? Kuncinya, jika tradisi Rebo Wekasan dibauri anasir menuhankan yang lain, jelas dilarang. Bagaimana dengan sholat sunah empat rakaat pas Rebo Wekasan? Kalau diniatkan khusus sholat sunah Rebo Wekasan, tak boleh.
Kalau niat sholat sunah, sunah mutlak atau sunah hajat pas Rebo Wekasan, tak apa. Tapi tak boleh dikhususkan sholat sunah dalam rangka Rebo Wekasan. Sholat sunah mutlak itu sholat sunah yang tak dibatasi waktu, tidak karena sebab lain dan tidak dibatasi jumlah rakaat.
Ada empat ritual dalam Rebo Wekasan dalam masyarakat Jawa (sepanjang yang pernah saya alami):
- shalat tolak bala
- berdoa dengan doa-doa khusus
- minum air jimat
- selamatan, sedekah, silaturrahim dan berbuat baik kepada sesama.
Poin minum air jimat ini yang tak boleh.
Saya juga membaca di linimasa bahwa tradisi Rebo Wekasan itu bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi dalam kitab “Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid (Mujarrobat ad-Dairobi). Syeikh Ahmad ini sufi. Pelaku tasawuf.
Di linimasa juga ada yang menulis, selain Syeikh Ahmad, terkait Rebo Wekasan, ada anjuran yang sama dari Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar yang termaktub dalam Al-Jawahir Al-Khams. Tapi anjuran dari dua syeikh ini, tetaplah anjuran. Patokan kita Alquran dan Hadis.
Yang agak saya sesali dari beberapa akun, langsung mencak-mencak menghakimi orang yang menjalankan Rebo Wekasan. Alasannya Nabi tak mengerjakan. Alasannya betul tapi cara kita menengarai persoalan harus dengan ilmu bukan dengan amarah.
Pesan ulama Minangkabau, layak direnungkan. Ranah Minangkabau gudangnya ulama. "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah". Tradisi atau adat istiadat harus bersandar pada syariat. Syariat itu harus bersandar pada Kitab Allah, Alquran.
- Ulama itu jamak dari kata alim.
Contoh gampangnya, kemarin malam, saya ikut tahlilan. Tahlilan tak ada di zaman Nabi. Ini betul. Tapi ingat, di dalam tahlilan termaktub bacaan Alquran, ada dzikir dan asma-asma Allah dan ada sholawat Nabi. Tahlilan itu tradisi tapi isi tahlilan tak bertentangan dengan Alquran.
Ini sih sekadar saran. Jika kita tak mempunyai dasar keilmuan keagamaan yang memadai, harus lebih hati-hati membicaraan persoalan agama. Yang memadai pun, harus hati-hati. Jangan menghakimi orang yang tak paham agama. Belajar itu proses yang tak pernah berhenti sampai akhir hayat.(Akhmad Effendi)