Mau Kemana Muktamar IV Parmusi?
Jumat, 13 Maret 2020
Edit
Chavchay S |
Oleh: Chavchay Syaifullah
Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) akan menggelar hajatan akbar dan paling strategis, yakni Muktamar IV di Jakarta, 27-29 Maret 2020. Selain akan digelar pertanggungjawaban pengurus periode 2015-2020 di bawah kepemimpinan Ketua Umum Usamah Hisyam dan Sekretaris Jenderal Abdurahman Syagaff, Muktamar IV juga akan melaksanakan pemilihan pucuk pimpinan baru untuk periode 2020-2025, serta menggelar banyak pembahasan konsolidasi organisasi dan rencana aksi lima tahun ke depan.
Akankah para pengurus dari daerah hingga pusat seIndonesia mengonsolidasikan gerakan dakwah yang semakin mengakarrumput ini? Atau justru akan mengevaluasinya dan melompat pada penguatan strategi politik Islam keIndonesiaan 2024 nanti di tengah menghangatnya manuver kelompok Masyumi Reborn akhir-akhir ini? Setidaknya dua kepentingan ini akan bergesekan keras dalam Muktamar IV nanti.
Masyumi Reborn yang dalam berbagai aktivitasnya melibatkan banyak kader Parmusi, tentu bukan mustahil, jika benar akan lahir partai Islam baru dari gerakan Masyumi Reborn, Parmusi bisa saja akan bersentuhan langsung dengan rencana kelahiran partai baru itu. Sejauh mana dan sebatas apa persentuhan itu, Muktamar IV tentu akan menjadi forum yang tepat untuk mengantisipasi rencana tersebut dalam konstelasi politik menuju pemilu 2024 nanti.
Rencana pendirian partai baru oleh kelompok Masyumi Reborn, di tengah rencana partai-partai besar dan menengah di DPR saat ini yang sedang bersiasat agar parliamentary threshold meningkat jadi 7%, haruslah didukung oleh kekuatan politik yang besar, termasuk dalam hal ini dari Parmusi dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Masyumi Reborn tidak bisa hanya mengandalkan persekutuan dari anak cucu ideologi Natsirian, bahkan klaim kekuatan massa veteran 212 dalam berbagai varian organisasi barunya. Kepentingan politik yang semuanya disandarkan hanya pada asumsi kekuatan moral, tidak lagi relevan. Persyaratan administratif partai peserta pemilu cukup ketat dan berat, belum lagi besarnya kekuatan logistik yang dibutuhkan untuk menyalakan sistem perapian mesin partai.
Partai Perindo dan Partai Berkarya yang digawangi bohir-bohir kelas kakap, terbukti hanya bisa melahirkan partai kelas teri. Termasuk Partai Idaman yang menggerakkan moralitas fans artis dangdut tersohor, hanya membuktikan bahwa partai baru tak cukup dengan modal massa mengambang, meskipun jumlah fans dikatakan berjuta-juta. Administrasi politik adalah barang pasti, bukan fantasi. Ia akan dipastikan dengan sistem verifikasi dan mekanisme seleksi, bukan difantasikan untuk menjadi pseudo politik.
Kalau memang Masyumi Reborn adalah gerakan yang serius dari sejumlah kader Parmusi, maka pada Muktamar IV ini mereka akan menjelma jadi kubu yang menggiring perubahan-perubahan fundamental dalam AD/ART Parmusi. Bisa saja mereka akan ngotot mendorong Parmusi menjadi partai baru atau Parmusi tetap menjadi ormas namun secara lembaga didorong aktif membidani kelahiran partai baru, seperti NU melahirkan PKB.
Di sisi lain, kalau Muktamar IV Parmusi malah semakin menegaskan platform ormas yang concern di bidang dakwah, maka gerakan dakwah macam apa yang akan dikembangkan Parmusi untuk merespon realitas sosial milenial? Ini juga dirasa perlu didiskusikan secara mendalam dalam forum Muktamar IV.
Sebagaimana diketahui bahwa di bawah kepemimpinan Ketua Umum Usamah Hisyam dan Sekretaris Jenderal Abdurahman Syagaff, Parmusi banting stir menjadi organisasi dakwah dengan tagline Connecting Moslem: Menata, Menyapa, Membela Ummat. Suasana dan cara kerja keorganisasian Parmusi terasa sangat berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya di bawah Ketua Umum Bachtiar Chamsyah dan Sekretaris Jenderal Imam Suhardjo.
Meskipun tidak saja mengurusi bidang dakwah, melainkan bidang ekonomi, sosial dan pendidikan, Parmusi dalam 5 tahun ini membungkus gerakannya dalam paket dakwah Islamiyah. Tak heran jika ribuan juru dakwah Parmusi lahir dan berkembang dan pemberdayaan desa madani Parmusi dilakukan hingga ke daerah-daerah perbatasan negeri.
Dalam masa transisi ini, bidang-bidang ekonomi, sosial, dan pendidikan disubordinasikan ke dalam gerakan dakwah. Hampir tidak ada pengembangan bidang ekonomi, sosial, dan pendidikan yang tidak terintegrasi dalam pengembangan dakwah. Dalam konteks ini, terjadi plus minus di lingkungan Parmusi sendiri. Ekonomi untuk dakwah, sosial untuk dakwah, dan pendidikan untuk dakwah. Realitas ini tentu menyulitkan kader-kader Parmusi yang tidak berlatarbelakang juru dakwah, padahal kelompok ini merupakan jumlah kader yang justru mayoritas.
Apa daya, dakwah dalam artian yang formal, terus saja menggelinding di tubuh Parmusi dalam periode ini. Parmusi seperti tak berhenti mencari formulasi dakwah yang lebih kontekstual. Lembaga baru bernama Lembaga Dakwah Parmusi (LDP) yang dipimpin KH Syuhada Bahri berandil cukup besar dalam masa transisi ini. Kegigihan ulama yang cukup sepuh itu dalam mengembangkan dakwah di Parmusi, terang saja menginjeksi enerji yang luar biasa bagi para dai muda.
Ditambah kehadiran KH Farid Okbah di LDP yang tampak setia dan bisa saling mengisi ruang gerak bersama KH Syuhada Bahri. Kedua guru yang terus menggembleng para dai Parmusi ini, tentu menjadi semacam pentilasi segar bagi Usamah Hisyam dan Abdurahman Syagaff yang sedang berinovasi tiada henti mengurus dakwah yang punya orientasi keIslaman dan keIndonesiaan yang modern dan manajemen dakwah yang lebih profesional.
Hanya saja, dakwah di hadapan kaum milenial butuh metode yang tidak saja bisa diselesaikan oleh seorang KH Syuhada Bahri dan seorang KH Farid Okbah, Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Parmusi mendatang perlu merangkul ulama-ulama muda yang secara keilmuwan sangat cakap dan punya kegigihan dakwah yang luar biasa.
Chavchay Syaifullah, budayawan dan aktivis Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi).