Dialog Puisi - Lukis Masih Basa - Basi. Pameran 45 Tahun Garajas Dibuka Ketua DPR- RI
Minggu, 28 Juli 2019
Edit
Ajul Jiunk dengan lukisannya hasil tafsir puisi "Nenek, Kau dan Bendera" karya Teguh Wijaya |
Cipasera - Puisi sering menjadi ilham atau inspirasi sebuah film, drama atau cerita novel. Tapi puisi menjadi basis ide sebuah lukisan, mungkin baru dilakukan secara masif oleh Sanggar Garajas. Sebuah Sanggar Lukis yang cukup dikenal dan kini menginjak usia ke 45.
Betapa tidak. Pada peringatan ke 45 tahun ini, Sanggar yang dahulu mangkal di Gelanggang Remaja "Bulungan" Jaksel ini mengundang 45 penyair untuk divisualkan atau didialogkan puisinya menjadi lukisan. Alhasil terkumpulah 45 puisi dari penyair dan orang ternama. Mereka antara lain, Yudhistira AN Massardi, Arswendo Atmowiloto, Arifin C.Noor, Teguh Wijaya, Yanusa Nugroho, Radhar Panca Dahana, Tony Q, Adri Darmadji Woko dan lain lain.
Dan ke 45 puisi tersebut berhasil divisualkan dengan bagus menjadi lukisan oleh pelukis Firdaus Alamhudi, Qibro Pandan Promo, Ajul Jiunk, Lukman HS, Andi Suandi, Jocotree, Sulan dan lain lainnya. 45 karya lukis dan puisi tersebut kemudian dipamerkan di Musium Senirupa dan Keramik Jakarta, 25 - 29 Juli 2019.
Sosok Pejuang Syahrir pun dilukis dari puisi. |
Dalam sambutannya saat membuka pameran, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menilai, perkembangan seni di Indonesia sudah tumbuh bagus. Malahan sering terjadi kolaborasi antar cabang kesenian, seperti yang ditampilkan Sanggar Garajas, membuat warna baru dalam khazanah kesenian tanah air.
Seni puisi yang identik dengan tulisan dan lisan bisa dikolaborasikan dengan seni rupa berupa lukisan. Perkawinan keduanya mengesankan. Kerjasama antara penyair yang mencipta puisi bertema Cinta Indonesia bisa diterjemahkan dengan epik oleh pelukis dalam bentuk lukisan.
Pria yang akrab disapa dengan singkatan Bamsoet ini menyarankan agar kesenian dengan saling mengawinkan seni bisa terus dielaborasi agar bisa menarik peminat berbagai kalangan.
Namun, di mata pengamat senirupa dan penyair, Eddy Soetriyono, seni lukis "membaca" puisi atau sebaliknya sudah berlangsung lama, baik di Eropa maupun di Indonesia. Sejak zaman kuno hingga modern.
Lihat saja zaman Yunani dan Romawi yang ada kaitannya mitologi dengan patung - patung hingga renainssance, dimana para pelukis menggali narasi - narasi sastrawi dengan kreatif yang membuat masyhur pelukisnya. Pun di zaman modern, Salvador Daly berhasil dengan bagus mengekspresikan puisi "Romancero Gitano" karya Frederico Garcia Lorca. Dan banyak lagi, dari Divina Comedia hingga Romeo and Yuliet.
Sulan (kanan) dan lukisan cat air "ciri" khasnya. |
Di Indonesia, jejak lukisan membaca puisi dan sebaliknya juga terjadi sejak lama. Lukisan - lukisan di candi - candi banyak yang menerjemahkan sastra kidung dan kakawin.
Di masa perjuangan merebut kemerdekaan, Chairil dan sejumlah pelukis seperti Affandi bekerja sama membuat lukisan poster untuk membangkitkan semangat rakyat. Namun dalam perkembangan selanjutnya, hubungan puisi dan lukisan mengalami pasang surut.
Saat ini hubungan tersebut masih tergolong hubungan "basa basi ala kadarnya". Tak ada sentuhan bathin. Tidak datang dari hatinya sendiri.
Meskipun demikian, kata Sandira, mahasiswa Seni Rupa yang hadir saat pembukaan pameran, langkah Sanggar Garajas pantas diacungi jempol. "Ide pelukis 'membaca' puisi ini menarik dilanjutkan. Saya melihat hasilnya keren - keren," kata Sandira. "Saya tertarik lukisan Lukman, Sulan dan Ajul Jiunk. Lukisan itu mewakili tema yang ditawarkan." (Red/wiw/*)