Pejuang Pribumi Berjuluk Kampret
Minggu, 14 April 2019
Edit
Salah satu adegan Film Terang Boelan |
Oleh Akhlis Suryapati
Koran Harian Pemandangan yang terbit pertengahan 1930-an, selalu menghadirkan editorial yang ditulis oleh Kampret. Koran zaman Hindia-Belanda itu gigih memperjuangkan pribumi, khususnya dalam hak-hak peranserta melalui kebudayaan.
Karena tulisan-tulisan yang radikal memperjuangkan pribumi, koran tersebut dibredel penguasa. Si Kampret lalu terjun ke perfilman. Skenario perdananya Terang Boelan (1937), difilmkan sutradara Indo-Belanda Albert Balink – juga jurnalis yang bekerja di Harian De Locomotive Semarang serta Harian Soematra Post di Medan.
Skenario film lain yang dihasilkan Kampret adalah Fatima (1938), Gagak Item (1939), Harta Berdarah (1940), Bajar Dengan Djiwa (1940), Ajah Berdosa (1941), Lintah Darat (1941).
Di balik nama Kampret adalah orang bernama Saeroen (1920-1962), kelahiran Yogyakarta. Memulai karir wartawan di sela kerjanya pada stasiun kereta api, sampai kemudian mendirikan harian Pemandangan bersama Raden Haji Djunaedi.
Di perfilman, Saeroen selalu menyuarakan agar pribumi dilibatkan dalam perfilman. Masa itu perfilman hanya dilakukan orang Eropa dan Cina. Hasil perjuangannya, artis-artis tonil Dardanella, yang didirikan di Sidoardjo, Juni 1926, oleh pria keturunan Rusia Willy Klimanoff atau disebut juga dengan nama A Piedro, punya kesempatan terjun ke film. Pimpinannya, Andjar Asmara, kemudian menjadi sutradara terkemuka masa pra-kemerdekaan.
Dari Dardanella tercatat tampil aktris Ratna Asmara yang kemudian menjadi sutradara wanita pribumi pertama melalui film berjudul Sedap Malam (1951). Artisnya yang jadi pesohor film antara lain Miss Riboet, Tan Tjeng Bok, Devi Dja, Dari film Terang Boelan, mencuat artis Roekiah (berpasangan dengan RD Mochtar) yang sempat dianggap sebagai ikon mode dan kecantikan pribumi, sering disejajarkan dengan Dorothy Lamour dan Janet Gaynor.
Well, supaya tidak ngelantur, kembali ke Kampret yang ternyata adalah Saeroen. Di perfilman, Saeroen bukan hanya asyik terlibat dalam produksi sebagai praktisi, namun juga terus memimpin gerakan politik kebudayaan – baik melalui kegiatan perfilman, juga sebagai jurnalis. Tahun 1940 memprakarsai berdirinya organisasi Sarikat Artist Indonesia (SARI). Anggotanya, pemain sandiwara, penari, sutradara, penyanyi, pemain film, hingga pelukis. Tahun 1951, SARI mengerucut menjadi Persafi (Persatuan Artis Film dan Sandiwara Indonesia).
Tahun 1953, sebuah pertemuan memunculkan gagasan membentuk organisasi khusus artis film. Tahun 1956 dideklarasikan Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI).
Saeroen atau Si Kampret, oleh Pemerintah Indonesia diakui sebagai tokoh Perintis Kemerdekaan Indonesia dan menerima tanda penghargaan Satya Lencara Perintis Kemerdekaan, serta beberapa bintang jasa lainnya. Oleh Penjajah, Si Kampret diuber-uber, ditahan (1939), sebagai ekstremis dari kelompok kaum radikal. Begitu ceritanya.**