Wajah Hukum & Keadilan : Catatan Kecil Sejarah
Selasa, 22 Januari 2019
Edit
Patung Socrates (foto: ist) |
Oleh : Maiyasyak Johan
Wajah Hukum & Keadilan di suatu bangsa dan Negara bisa dilihat dari putusan pengadilannya. Dalam catatan sejarah ada dua putusan pengadilan yang mewakili dua peradaban dunia, yakni Barat dan Islam.
Dalam peradaban barat, dulu di Yunani (Athena) tercatat sebuah kisah tentang putusan pengadilan terhadap seorang filosof, yaitu Socrates yang oleh elite penguasa Yunani (Athena) dituduh telah meracuni (menghasut) masyarakat dan anak-anak muda dengan diskursus dan dialektikanya. Pengadilan yang mengadilinya menyatakan Socrates terbukti bersalah dan menjatuhkan hukuman mati terhadapnya - sekali pun nota pembelaannya tak mampu dibantah kebenarannya. Bahkan hingga kini masih menjadi referensi.
Menjelang eksekusi putusan pengadilan, murid2nya mendatanginya ditahanan dan menawarkan utk melarikan diri. namun ia menolak dan lebih memilih untuk menjalaninya. Akhirnya seteguk anggur beracun mengakhiri hidup dan kisahnya.
Kisah peradilan Socrates di atas ini mengajarkan beberapa hal pada kita. Pertama tentang pengadilan yg dijadikan alat oleh "Penguasa Politik" untuk menghukum orang yang "dianggap" dapat melemahkan kekuasaannya.
Kedua tentang kehormatan seorang intelektual yang sampai detik terakhir masih tetap menjaga integritas intelektualnya dan mengabdi bagi bangsa dan negaranya, sekalipun utk itu ia harus menjadi korban - namun tak rela mengorbankan kebenaran.
Ketiga, tentang pengadilan yg tidak memelihara kehormatannya utk menegakkan hukum dan keadilan, melainkan hanya menjadi perpanjangan tangan lenguasa politik dengan memutuskan perkara tidak berdasarkan pada fakta dan bukti persidangan melainkan hanya utk mengukuhkan dan mengabsahkan tuduhan Penguasa Politik yg didasarkan pada asumsi dan sikap prejudice dan lain sebagainya.
Peradilan di banyak negara yang baru merdeka pasca perang dunia ke-II yg disebut-sebut modern itu ternyata dalam derajat yang berbeda hingga abad mellenium ini tak lepas dari sejarahnya itu, termasuk di Indonesia, yakni menjadi alat penguasa dan belum sepenuhnya menjadikannya sebagai institusi yang menegakkan hukum & keadilan.
Berbeda dari kisah badan peradilan dalam perdaban barat tersebut di atas, peradilan dalam peradaban islam memiliki cerita sendiri yang menggambarkan wajah "keadilan" dan "Kekuasaan" secara sekaligus, dalam sebuah peristiwa hukum yang menunjukkan independensi hakim dan penguasa, yang teguh menghormati hukum dan badan peradilan.
Dalam Peradaban Islam, kisah putusan pengadilan Islam (Madinah) dalam kasus penguasa melawan seorang Yahudi (Pencuri). Sang penguasa adalah Khalifah/Amirul Mukminin/Kepala Pemerintahan Islam di Madinah, yaitu Syaidina Ali Bin Abi Thalib R.A., yang mengadukan kepada hakim, bahwa seorang Yahudi telah mencuri perlengkapan perang miliknya yaitu baju besi yang merupakan baju perangnya.
Pengadilan memanggil si Yahudi dan menyidangkan perkaranya. Dalam persidangan pengadilan tak berhasil membuktikan si Yahudi telah melakukan perbuatan mencuri baju perang milik Syaidina Ali bin Abi Thalib R.A. dan pengadilan memutuskan membebaskan si Yahudi.
Atas putusan Hakim yang menyidangkan perkara itu, Syaidina Ali bin Abi Thalib R.A. menerima keputusan hakim yang membebaskan si Yahudi. Si Yahudi gembira sekaligus heran. Tadinya ia sangat takut, Syaidina Ali bin Abi Thalib akan menolak putusan pengadilan dan menggunakan kekuasaannya untuk menghukumnya, sebab dia adalah presiden pemerintahan Islam Madinah ketika itu.
Tetapi yang terjadi sebaliknya, sang Khalifah berjalan meninggalkan persidangan dengan santai tanpa beban.
Melihat hal itu, si Yahudi bertanya dan setelah terjadi dialog, ia meminta maaf, lalu selain mengembalikan baju perang milik Syaidina Ali bin Abi Thalib, ia juga bersyahadat masuk islam.
Kisah badan Peradilan dalam peradaban islam di atas menjelaskan beberapa hal pada kita. Pertama, Hakim dan peradilan tidak berada dalam tekanan, melainkan bebas dan bukan perpanjangan tangan dari penguasa.
Kedua, bahwa badan peradilan dalam islam menyandarkan putusannya pada bukti dan fakta persidangan bukan pada asumsi dan keyakinan hakim yang tak bisa dibuktikan, apalagi atas dasar kehendak penguasa. Ketiga, Hakim dan badan peradilan semata-mata bekerja utk menegakkan hukum dan keadilan karena Allah, bukan karena penguasa, bahkan jika yang menjadi korban kejahatan itu pun sang kepala negara.
Jika pengadilan tidak berhasil membuktikan kesalahan seorang terdakwa, maka tak ada alasan hukum bagi Pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap tersangka atau terdakwa pelaku, melainkan tetap harus dibebaskan.
Mungkin kisah peradilan inilah yang diambil oleh sejumlah intelektual kritis barat dan dijadikan inspirasi yang melahirkan jargon peradilan dalam peradaban barat - sayangnya hanya sampai sebatas jargon - belum pernah dilaksanakan, yakni: lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah ketimbang menghukum 1 orang tidak bersalah.
Jakarta 19 oktober 2019
*Penulis adalah Advocate & Counselor at Law. Mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI Periode 2004 - 2009.