Ahmad Dhani, Pilpres & Ledakan Dahsyat
Rabu, 30 Januari 2019
Edit
Ahmad Dhani |
Oleh: Dr. Tony Rosyid*
Akhirnya, Ahmad Dhani divonis bersalah. Terbukti melakukan ujaran kebencian. Dianggap telah dengan meyakinkan melanggar pasal 45A ayat 2 juncto pasal 28 ayat 2 Undang-Undang no 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE). Ahmad Dhani kena 1,5 tahun.
Pengadilan memerintahkan Ahmad Dhani ditahan. Dan musisi band Dewa19 ini langsung dibawa ke Cipinang. Saat itu juga. Kenapa tidak ke Makobrimob? Emang bisa milih penjara? Eh, LP (Lembaga Pemasyarakatan) maksudnya. Biar dianggap agak sedikit sopan.
Beda dengan Ahok. Meski putusan sudah inkrah, tetap dititipkan di Makobrimob. Ini yang membuat tim pengacara Dhani bertanya-tanya. Keberatan! Kok beda? Ya bedalah. Bergantung siapa dekat siapa. Kalau oposisi, ya susah.
"Pengadilan sudah benar. On the right track. Semoga. Kok semoga? Ya, kan kita juga gak tahu apa yang terjadi di panggung belakang. Siapa tahu ada aktor-aktor hebat, tapi gak mau tampil dan kelihatan di mata publik. Senang bersembunyi dan main petak umpet. Mungkin masa kecilnya kurang berbahagia. Tetap positif thinking. Jangan curiga. Anggap saja itu putusan hakim. Murni putusan hakim. Hakim yang mana? Ah, nanya mulu. Hakim ya hakim! Kesel gue. Maksudnya, hakim di panggung depan, atau hakim yang di panggung belakang? Hakim mana kek..." begitulah kira-kira dialog yang berkembang di masyarakat.
Tapi, siapapun yang berbuat salah, harus diputus salah. Rakyat harus menghargai putusan pengadilan. Titik! Tidakkah hakim bisa keliru dalam putusannya? Hakim juga manusia. Sama dengan artis. Artis juga manusia. Berhak salah.
Dhani punya hak banding. Itu hak hukum yang melekat pada tervonis. Di pengadilan tinggi, Dhani bisa menunjukkan bukti-bukti baru dan saksi ahli baru. Bagaimana cerita selanjutnya? Kita tunggu. Apakah saat sidang pengadilan tinggi nanti presidennya masih sama, atau beda. Emang ngaruh? Tanya pada rumput yang bergoyang!
Dhani gak perlu dibela. Biarlah ia menjalani proses sesuai hukum yang berlaku. Tapi, Dhani diperlakukan tidak adil! Oh ya?
Warga keturunan China pernah hina presiden, tapi kenapa bebas? Bupati Boyolali sebut Prabowo "asu", bebas juga. Victor Laeskodat yang menuduh Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN sebagai pendukung khilafah seolah "tak secara serius" tersentuh hukum. Denny Siregar nyebarin video hoax kasus pengeroyokan anak Jakmania, aman. Abu Janda menghina bendera tauhid sebagai bendera teroris, hingga sekarang masih bebas bikin vlog di luar sana. Para penghina Fadli Zon, asyik-asyik aja.
Kenapa tidak dilaporkan? Heh, Anda butuh laporan berapa kali lagi, agar laporan bisa direspon dan ditanggapi? Apakah setiap laporan harus dikawal aksi 7 juta demonstran (212) agar bisa direspon dan ditindaklanjuti?
Jangan sampai muncul image bahwa laporan itu sah jika PERTAMA, laporan itu berasal dari pihak pendukung incumbent. KEDUA, atau laporan itu disertai demo 212. Syarat pesertanya minimal harus 7 juta. Kan gak lucu. Bener gak?
Dalam kasus Ahmad Dhani, rakyat gak perlu membela. Yang perlu dibela adalah Indonesia. Negara ini yang harus dibela dari ketumpulan dan ketidakadilan hukum.
Hukum itu pilar demokrasi. Hukum itu pondasi untuk membangun stabilitas politik, juga ekonomi. Karenanya, butuh kepastian dan keadilan.
Jika hukum tak tegak, ini akan jadi api dalam sekam. Menjadi investasi kemarahan rakyat. Akumulasinya pada ukuran tertentu bisa meledak. Kemarahan ini nyata. Apa indikatornya?
Lahirnya tagar #2019GantiPresiden yang disambut meriah di mana-mana, adanya istilah ABJ (Asal Bukan Jokowi), maraknya salam dua jari, munculnya orang-orang seperti Rocky Gerung dan Rizal Ramli yang makin tajam kritiknya, berlanjutnya Aksi 212 dalam reuni dan Ijtima' Ulama, dukungan komunitas perguruan tinggi (kampus) terhadap calon alternatif. Dan yang terakhir, terus tergerusnya elektabilitas incumbent. Indikatornya nyata.
Dua bentuk perlakuan yang berbeda terhadap berbagai fakta hukum ini akan menguji akal dan nurani rakyat, terutama dalam pilihan di pilpres nanti. Mana yang berakal sehat, dan mana yang tak lagi punya nurani.
Itu semua politis! Ya, iyalah. Menghadapi politisi, yang paling cocok adalah gerakan dan prosedur politik. Ini yang paling tepat. Politik moral melawan pragmatisme kekuasaan. Di sepanjang sejarah, pola dan prosedur politik semacam ini paling konstitusional dan tak berisiko. Coba kalau gerakan moral itu TIDAK disalurkan melalui jalur politik? Malah akan jadi demokrasi jalanan yang berpotensi menjadi revolusi. Dan itu tidak dikehendaki bersama. Risiko sosial dan politiknya terlalu besar. Jangan sampai terjadi!
Kemarahan rakyat sepertinya akan diledakkan dalam pilpres 17 April nanti. Ini yang bener. Dengan catatan, pilpresnya juga bener. Jika pilpres gak bener juga, ledakan kemarahan itu dikhawatirkan akan berubah bentuk jadi people power. Ini bahaya.
Kasus Dhani, juga Buni Yani dan Novel Baswedan, yang diperlakukan berbeda dengan banyak kasus dari para pendukung incumbent menambah investasi kemarahan rakyat yang semakin membesar. Secara politik, ini seperti gelombang tsunami yang akan jadi ancaman nyata dan serius terhadap nasib suara Jokowi di 17 April 2019. Di sinilah ledakan dahsyat itu bisa terjadi.[]
*Penulis adalah pengamat politik
Jakarta, 30/1/2019