Namanya Abdullah bin Ubay bin Salul. Dia muslim dan tokoh, tapi
ucapan serta tindakannya gemar menyakiti kaum Muslimin. Berislam tanpa
ghirah dan kedalaman iman. Sosok ini kontroversial, tak segan keluar
dari barisan umat Islam. Dialah representasi figur nifaq dan fasiq!
Abdullah
awalnya Kepala Suku Bani Khazraj di Yatsrib. Kemudian masuk Islam
setelah Nabi dan kaum Muslimun hijrah ke Madinah. Konon pengetahuannya
lumayan cukup, dan tentu saja bahasa Arab-nya fasih. Namun, keislamannya
tidak pernah tuntas, hingga sering berkhianat pada perjuangan Nabi dan
umat Islam.
Banyak peristiwa gaduh akibat fitnah, ujaran,
dan siasat Abdullah bin Ubay. Dia otak intelektual di balik peristiwa
hadis al-ifqi yang memfitnah Siti Aisyah radliyallahu 'anha. Sosok ini
pasca perang Ahzab dan pada peristiwa pemgkhianatan Banu Musthaliq
pernah berujar bahwa kaum yang terhina --maksudnya Nabi dan umat Islam--
akan diusir dari Madinah. Dia pula bersama pengikutnya berkhianat pada
Perang Uhud, yang berakhir dengan kekalahan umat Islam.
Abdullah
bin Ubay selalu menyimpang dari barisan umat Islam dan menyebabkan
masalah di tubuh kaum Muslimun. Umar bin Khattab sampai meminta izin
Rasulullah untuk memenggal kepalanya karena selalu bikin fitnah dan
masalah di internal umat Islam. Putranya yang shaleh, Abdullah bin
Abdullah bin Ubay, justru mengajukan diri sebagai pelaku yang siap
menghukum ayahnya itu jika Nabi mengizinkan.
Nabi tentu tak
merestuinya, bahkan baginda memintakan ampun kepada Allah atas segala
perbuatan nifaq Abdullah bin Ubay itu. Hingga kemudian turun ayat
Al-Quran, yang artinya: "Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan
(jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu
berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada
Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik." (QS At-Taubah:
84).
Problem klasik
Umat Islam Indonesia maupun di fora Dunia Muslim sering ditimpa beban berat karena masalah internal dirinya. Islam
mahjubu bil-muslimin, ujar Muhammad Abduh. Saksikan di Timur Tengah saat ini, betapa porakporandanya saudara-saudara Muslim. Kehadiran ISIS
(Isalamic State of Iraq and Syiria)
apapun dan siapapun di belakangnya, muaranya berujung pada pemghancuran
Dunia Arab dan Islam. Suriah dan Yaman hancur karena perang saudara.
Arab Saudi dan kawan-kawan harus berhadapan dengan Qatar.
Di
negeri ini perbedaan paham dan kepentingan sesama umat Islam jika tidak
dibarengi jiwa toleransi tinggi berpotensi memperlemah kekuatan Islam.
Saling tuding ekstrim dan radikal dapat menjadi pemicu. Baik dalam
tatanan umum lebih-lebih dalam perbedaan kepentingan politik, potensi
centang perenang masih menjadi problem klasik umat Islam Indonesia.
Pilpres dan Pilkada sering menjadi ajang fragmentasi kaum Muslimin, satu
sama lain tidak jarang saling berseberangan dan berhadapan. Sulit
dibangun kekuatan umat yang kohesif.
Secara normatif umat
Islam itu satu, tetapi secara entitas belum menyatu dan menjadi kekuatan
utama dalam panggung politik nasional. Selalu ada yang keluar dari
barisan umat Islam. Fragmentasi politik Masyumi di masa silam dengan
keluarnya beberapa elemen Islam tahun 1948 dan 1952, serta kelahiran
Nasakom maupun banyaknya partai Islam pada Pemilu 1971 seakan
terdaur-ulang pada era reformasi.
Fakta sejarah itu seakan membenarkan
tesis Eickelman dan Piscatori, bahwa antarkomponen Islam selalu terjadi
kompetisi dan persaingan tinggi yang melibatkan ajaran dan simbol Islam,
sehingga tidak melahirkan entitas politik yang utuh dalam arus utama
politik Islam.
Problem fragmentasi politik ini berbanding
lurus dengan hasrat dan perangai politik yang pragmatis ketika berkuasa
dalam pemerintahan. Terhadap sesama seiman tidak saling mendukung dan
menguatkan namun sebaliknya memotong, meminggirkan, dan melemahkan.
Benturan dan saling rebut kepentingan jauh lebih kental ketimbang
ikhtiar saling negosiasi, agregasi, dan kohesi antarsesama komponen
Islam. Fakta politik ini sebenarnya pahit, tetapi berlangsung seperti
lazim.
Akibat lebih jauh umat Islam tidak memiliki daya
tawar politik yang kuat di kancah nasional karena satu sama lain
bergerak sendiri dan rawan dipecah-belah. Seperti dilukiskan Nabi,
laksana domba yang mudah dicincang srigala dan membuat umat melemah.
Memang secara normatif jargon ukhuwah atau persatuan dan kesatuan umat
Islam selalu didengungkan nyaring, tetapi begitu masuk pada arena
kepentingan kekuasaan semuanya berantakan karena hasrat
ananiyah-hizbiyah masih kokoh dalam kesadaran komunal sebagian kaum
Muslim.
Problem politik klasik ini makin diperparah oleh
kelemahan umat Islam di bidang ekonomi. Karena dhu'afa secara ekonomi,
di antara umat Islam sering mudah tergantung pada pihak lain dan menjadi
sumber objek penderita dalam banyak hal. Sebagian gampang tergiur
proyek dan kepentingan pihak lain. Karenanya sering menjadi broker dan
sekadar mengikuti irama orang lain, yang tidak segan menyudutkan sesama
kaum Muslimin. Akibat lebih jauh tentu saja pengawetan ketergantungan,
sekaligus kian melemahkan posisi dan peran strategis umat Islam selaku
mayoritas yang mandiri dan berkemajuan.
Jalinan umat
Bagaimana
keluar dari problem klasik umat Islam yang selalu menjadi beban sejarah
ini? Jika umat lemah secara politik dan ekomomi, maka kunci pentingnya
ialah persatuan atau kebersamaan. Beban berat jika disangga bersama
tentu menjadi lebih ringan. Dengan bersatu atau bersama maka umat
menjadi kuat, sebaliknya karena centang perenang maka umat pastilah
lemah dan kalah. Sejarah menunjukkan pada perang Badr umat Islam menang,
sebaliknya di Uhud kalah, kunci utamanya pada soliditas umat sendiri.
Namun
ibarat lingkaran setan, untuk bersatu itu pun tidaklah mudah. Ukhuwah
banyak didengungkan secara lisan, tulisan, dan seminar. Dengan bangga
sebagian memperkenalkan jargon ukhuwah dalam beragam istilah indah.
Tetapi praktik ukhuwah itu sungguh tak mudah, sebagai jalan terjal yang
sama beratnya dengan membangun kekuatan politik dan ekonomi umat.
Sedikit saja kepentingan sendiri terganggu, dengan mudah menyeruak
arogansi
ananiyah-hizbiyah.
Kendala ukhuwah justru
berada di internal umat Islam sendiri. Beragam paham dan pandangan
makin meluas dan mengeras. Satu sama lain seakan ingin saling
mengislamkan, sehingga ibarat berebut ikan di kolam sendiri. Paham mudah
sesat-menyesatkan, memberi label negatif, hingga takfiri atau menuding
pihak lain ekstrem dan radikal lama kelamaan menjadi kultur keagamaan
yang menyeruak dalam kesadaran kolektif sebagian komponen Islam. Kadang
atraktif dan terkonstruksi menjadi true-beliefing atau fanatik-buta.
Faktor
kepentingan golongan atau kelompok sendiri juga menguat, sehingga sulit
untuk dipertemukan. Demi kue kekuasaan sesama komponen umat tergoda
saling menegasikan, meminggirkan, dan menjatuhkan. Umat menjadi sulit
bertemu tulus kecuali untuk hal-hal yang seremonial. Ukhuwah dan
persatuan berhenti di ranah jargon dan ujaran, tidak membumi di dunia
nyata secara autentik. Padahal dalilnya fasih bahwa sesama umat Islam
agar umat bersatu dan jangan bercerai-berai (QS Ali Imran: 103).
Jika
umat Islam ingin jaya maka niscaya menggalang jalinan ukhuwah yang
jujur dan autentik dengan berbahai langkah nyata menuju satu Islam untuk
semua. Batu ujinya ketika bersimpang jalan, pandangan, dan kepentingan.
Karenanya ukhuwah antar umat Islam, di samping dengan sesama warga
bangsa dan umat manusia sedunia, sungguh perlu diikat erat dan kuat
dalam jalinan tali Islam yang hanif. Ruhnya harus iman, taqwa, dan jiwa
ishlah (QS Al-Hujarat: 10) untuk mengalahkan segala hsrat kepentingan
diri.
Bagi kepentingan memajukan umat dan bangsa dari
berbagai ketertinggalan sungguh seluruh komponen umat perlu memjalin
ikatan dan kerjasama yang konstruktif. Umat Islam masih tertinggal
secara ekonomi, pendidikan, iptek, politik, dan budaya. Semuanya
memerlukan energi kolektif yang kuat sesama umat Islam. Jika ormas dan
kelompok umat Islam masih lemah dan berjalan sendiri-sendiri, apalagi
centang perenang, maka mana mungkin dapat memajukan umat dan bangsa.
Keragaman
paham jangan menghalangi kehendak untuk bersatu dalam menjalin kerja
sama strategis. Demikian halnya dengan perbedaan kepentingan dan pilihan
strategi perjuangan, sungguh diperlukan tradisi baru bernegosiasi agar
tidak tersandera oleh kemaruk kuasa dan libido
ananiyah-hizbiyah
yang merah menyala. Batu uji ukhuwah Islamiyah justru di kala ada
benturan paham, kepentingan, dan orientasi strategi yang berbeda.
Sanggupkan sesama umat Islam saling bernegosiasi, berbagi, dan berkorban
demi kemajuan bersama kaum Muslimin. Manakala dengan orang lain bisa
berukhuwah, kenapa dengan sesama seiman begitu susah?
Ukhuwah
umat Islam selain dengan sesama umat seiman dan seagama, tentu sama
pentingnya menjalin ukhuwah dengan seluruh warga bangsa hatta dengan
yang berbeda agama sekalipun. Namun dalam ukhuwah pun perlu jiwa
tawasuth atau moderat yang pusatnya pada keseimbangan. Dengan jiwa
tawasuth terhindar dari ekstrimitas, termasuk sikap ektrem merasa diri
paling moderat. Karena terlalu ekslusif, sering terkendala ketika harus
berhubungan dengan sesama anak bangsa yang berbeda. Sebaliknya karena
terlalu ingin inklusif sering kesulitan menjalin hubungan dengan sesama
umat sendiri, malah tidak jarang menegasikan dan memberi stigma-stigma
negatif.
Sungguh, umat Islam Indonesia tengah menempuh
jalan terjal dalam perjuangan dirinya untuk keluar dari problem klasik
dalam ranah politik, ekonomi, dan jalinan ukhuwah yang strategis.
Lebih-lebih di era media sosial yang mudah menebar fitnah dan memancing
amarah yang berujung retak di tengah Islam. Kendati kita sering
menghibur diri bahwa umat Islam Indonesia sebagai model bagi umat Islam
sedunia, klaim positif itu sebenarnya masih semu layaknya kembang api
yang memercikkan sinar indah di malam hari. Selebihnya, perangai
kolektif umat ini masih agak kumuh dan perlu mujahadah untuk keluar dari
kemelutnya sendiri! (source; republika)