Negara Bubar Itu Biasa
Minggu, 25 Maret 2018
Edit
Teguh Wijaya - (foto: Yitno MB) |
Oleh Teguh Wijaya
Jurnalis dan Penyair
Negara besar bubar dan tinggal
kenangan, itu tak aneh. Tak ada yg bisa menjamin negara bisa utuh hingga akhir
zaman.
Coba buka buku sejarah dari zaman old
hingga now. Negara bubar sudah tak terhitung. Majapahit bubar di abad 15,
konon akibat dikepung komunitas agama di kiri kanannya. Dari catatan serat Tantu Panggelaran, sebelum Majapahit
runtuh telah berkembang komunitas agama Islam
di sekitar keraton. Kemudian diduga oleh sejarahwan, kerajaan
kehilangan legitimasi rakyat, lalu jatuh dan bubar.
Demikian pula kerajaan Pajajaran, juga bubar oleh perkembangan zaman yang tak
disangka sama sekali. Paralel dengan itu,
Negara Banten ambruk lalu lenyap kini tinggal puingnya saja di Banten Lama,
Serang. Dan jauh sebelum itu, Sriwijaya pun mengalami keruntuhan, bubar dan hilang.
Padahal negara ini pernah mencapai
kejayaannya hingga memiliki universitas Budha Nalanda, ternama dengan
mahasiswanya berasal dari berbagai negara.
Tak hanya di Nusantara. Di luar
negeri pun sami mawon. Romawi yang agung yang menjelajah hingga ke Timur Tengah pun
ambruk tinggal bekasnya. Babylonia, Mesir Kuno dibawah Firaun, kerajaan –kerajaan di India hingga ke
Mongolia. Pendek kata cukup banyak yang lenyap digerus zaman.
Di era modern,
Yugoslavia berkeping setelah
Yosip Broz Tito meninggal. Sistem komunis yang diterapkan tak mampu
mempertahankan kesatuan negara. Disintregrasi terjadi. 1990 Yugo pecah menjadi lima. Dan
di era krisis, Presiden Serbia Slobodan Milosevic melakukan pembunuhan besar-besaran
terhadap penduduk muslim. Slobodan dijuluki si Tukang Jagal dan dinyatakan
penjahat perang oleh Mahkamah Internasional.
Yang fenomenal adalah hilangnya negara
adidaya Uni Soviet 1991. Menurut mantan
Presiden Mikhail Gorbachev kepada
wartawan BBC London (2016), Soviet menjadi 8 negara karena pengkhiatan. Katanya,
tiap tokoh ingin memimpin, jadilah penghianatan. Dan bubarnya Soviet tak
menunggu puluhan tahun, hanya dlm hitungan bulan. Memang ada proses, tapi
prosesnya terbukanya pikiran, tak langsung. Proses yang pelan tapi pasti.
Namun pengamat politik dan
masyarakat Rusia menyebut, Uni Soviet berantakan oleh kegagalan Gorbachev
menjalankan perestroika dan glasnost. Program perestroika merupakan program reformasi politik dan
ekonomi dan glasnost keterbukaan, baik kedalam
maupun keluar.
Dengan fakta seperti diatas, jadi jangan panik dan main hujat
kanan kiri, kalau ada novel dan intelektual menyebut
Indonesia akan hilang sekira 2030,
seperti disinggung novel Ghost
Fleet (Armada Hantu) karya Peter Warren Singer dan August Cole. Dalam novel itu, sekilas Republik Indonesia disebut menjadi negara gagal alias almarhum sekira 2030.
Prabowo Subianto, mantan jendral intelek anak Begawan Ekonomi Sumitro ini, tampaknya tertarik dengan isi novel tersebut. Maka ketika berpidato di
UI, ia menyuarakan itu dan heboh. Prabowo
tentu tak asal kutip. Mungkin ia tertarik karena yang menulis novel Armada Hantu itu bukan pengarang
ecek –ecek. Penulis novel itu diakui
sebagai intelektual berpengaruh. Apalagi Peter Warren Singer.
Peter adalah peraih gelar doctor di Harvard. Dia juga analis di lembaga think thank terkemuka di Amerika:
Brookings Institute. Tak hanya itu, Peter Warren Singer, 43 tahun merupakan esais
kenamaan. Tulisannya menyebar di semua
koran besar Amerika. Sekadar menyebut, New York Times, Washington Post, Boston Global
Globe sampai Los Angeles Times.
Peter pun pernah masuk kedunia politik dan gabung sebagai tim sukses pencalonan Obama
jadi Presiden Amerika Serikat. Peter disebut-sebut sebagai orang berpengaruh di lembaga think thank Brooking Institute di Washington DC. Lembaga yang sudah
berumur 100 tahun lebih. Lantaran bobot akademi Peter , tak heran bila novel Ghost
Fleet ini dianggap karya ilmiah.
Mengapa Peter sampai menggambarkan seburuk itu tentang Indonesia? Boleh jadi, Peter
tahu sebagai entitas kita memiliki banyak kelemahan, terutama soal
kesenjangan sosial yg bisa membuat ambruk negara. Sebagai gambaran, Yusril Ihza
Mahendra pernah menyebut, 74% tanah di
Indonesia dikuasai oleh kelompok etnis yang jumlahnya 0,2% dari penduduk
Indonesia. Penguasaan ini melalui kongklomerasi HPH, real estate, tambang dan
lain –lain. Menurutnya, kesenjangan ini sangat berbahaya dari sisi ketahanan negara. Dan kalau “meledak” , ideologi
negara tak akan bisa menolong. Ada istilah, untuk apa ideologi kalau "Lue lagi, lue lagi yg enak"
Memang, siapa saja tentu tak ingin Indonesia bubar dan tinggal kenangan. Ini negara indah dan sudah makan korban tak terhitung untuk
merdeka. Hanya saja, apakah itu ada dalam pikiran para pejabat tinggi kita? Kalau
ada cepatlah bikin kebijakan yag adil, tegakan hukum, kembalikan tanah untuk
masyarakat dan lain –lain.
Yang tak kalah penting, kurangi
hutang ke Tiongkok. Sebab hutang yang tinggi akan membuat lemah jati diri sekaligus
ekonomi. Menurut Intitute for Development of Economics and Finance (INDEF) , hutang Indonesia terproyeksi sudah tembus Rp 7000 triliun. Sebuah angka fantastis ! tak terbayang sulitnya untuk
mengembalikan.
Tapi kan rakyat harus turut berperan
mempertahankan juga? Itu so pasti. Tapi kalau orang dibikin susah apa mau?
Semoga Indonesia tak bercerai, lalu
kawin lagi bermetamorfosis dengan nama lain. Dan Indonesia tinggal kenangan.
***
***