Mengherankan. Beberapa Tokoh Pendiri Tangsel Tak Diundang Saat HUT Tangsel
Minggu, 26 November 2017
Edit
Saat pembacaan Deklarasi |
Para inisiator usai Deklarasi Kota Cipasera. Penulis No 3 dari kiri (baju putih) |
-- Melihat ke belakang, menengok mata air dari sumbernya - noname
Oleh Teguh Wijaya
Sekilas sejarah. 26 Nopember 2017 ini Kota Tangsel memperingati hari jadinya yang ke 9. Tapi setiap kali hari jadi Kota Tangsel ini dirayakan pada Rapat Paripurna Istimewa DPRD Tangsel atau malam inagurasi, para tokoh pendiri kota ini yang terlihat hanya beberaoa orang saja, seperti Margiono dan Zarkasih Noor. Padahal jika mengacu pada sejarah Kota Tangsel, pendiri kota ini bukan hanya mereka. Masih ada Ir Basuki Raharjo, mantan Anggota DPRD Kab Tangerang, Drs Hidayat, Pegawai Negeri dan Sania Wiraatmaja SH, aktivis partai dan lain -lain.
Malahan ketiga orang yang disebutkan terakhir, bisa disebut sebagai inisiator gerakan pendirian Kota Tangsel. Sebab tiga orang inilah dahulu yang punya peran signifikan dalam pemekaran awal kota ini . Tapi anehnya, ketiga orang tersebut seperti hilang ditelan bumi. Tak pernah diundang untuk hadir dalam dua perayaan Hari Jadi Kota Tangsel itu.
"Saya memang jarang mendapat undangan dalam perayaan HUT Tangsel. Dahulu, pernah sekali dapat undangan di DPRD Tangsel, tapi selanjutnya tidak lagi," kata Basuki di atas kursi rodanya beberapa tahun lalu. Demikian pula dengan Hidayat.
Senada dengan Basuki, Hidayat juga tak pernah datang dalam perayaan Hari Jadi Tangsel. Dan setiap kali saya tanyakan, ia hanya tertawa.
Tapi saya pernah mendengar, Hidayat enggan menonjolkan diri sebagai pendiri Tangsel karena faktor psikologis. Hidayat, setelah Tangsel resmi menjadi kota, ia pindah bekerja di Pemkot Tangsel dari Deplu. Sekarang duduk sebagai Kasi di sebuah SKPD. Etika di PNS tak elok menonjolkan diri.
Ir Basuki Raharjo membaca teks deklarasi |
Sementara Sania Wiraredja, tak pernah hadir lantaran belum pernah sekalipun diundang oleh panitia HUT Tangsel. Yang luar biasa, meski jarang diundang dalam perayaan, ketiga tokoh ini tak mengeluh. Hanya saja, mereka mulai gelisah ketika sejarah Kota Tangerang Selatan mulai ada yang coba- coba membelokkan, menghapus peran KPPDO - KC (Komite Panitia Persiapan Daerah Otonomi -Kota Cipasera). Sebab KPPDO-KC adalah organisasi pertama yang menyatakan pembentukan Kota Cipasera yang meliputi kecamatan Ciputat, Cisauk, Pamulang, Serpong, Pagedangan dan Pondok Aren; terpisah dari Kab Tangerang.
Kelak, dalam proses negoisasi pembentukan Kota Tangsel, nama kota Cipasera diganti menjadi Kota Tangerang Selatan. Dan pernyataan pemekaran tersebut dideklarasikan secara terbuka 31 Maret 2002 di Gedung Litbang Dep Agama, Ciputat.
Yang membesarkan hati, Deklarasi berdirinya Kota Cipasera dihadiri akademisi, intelektual, tokoh masyarakat, pejabat Depdagri, ormas, pengurus partai dan media massa cetak dan televisi.
Latar Belakang
Ciputat,
Pamulang, Serpong dan Pondok Aren tahun
1999 seperti daerah tak bertuan. Dari mulai infrastruktur seperti jalan raya, sekolah, puskesmas, dan kantor
Kecamatan sangat buruk. Jalan raya banyak yang berlubang. Kemacetan dan
sampah di Pasar Ciputat seperti tak ada yang mengurus. Saking buruknya, Ciputat
oleh media nasional disebut daerah tak
bertuan.
Tak cuma
bobrok infrastrukturnya. Birokrasi pun luar biasa kacaunya. Untuk mengurus KTP,
misalnya, warga harus menunggu delapan
bulan ! Demikian layanan yang lain seperti
mengurus surat akta tanah, surat kelahiran, pernikahan, KK dan lain
sebagainya. Kalau mau cepat harus lewat “pintu
belakang” alias memberi “pelicin”. Anehnya, Pemkab Tangerang seperti tak
menggubris. Padahal media massa sudah sering melancarkan pemberitaan.
Tak cuma
di empat
kecamatan saja yang amburadul. Dua
kecamatan tetangganya seperti Cisauk dan Pagedangan pun sama saja.
Infrastruktur dan pelayanan public seperti diabaikan oleh Agus Djunara Bupati
Tangerang (1998 – 2003) dan Sekda
Ismet Iskandar .
Kondisi
ini menyadarkan masyarakat, bahwa Bupati Tangerang telah abai dengan wilayahnya
di selatan. Padahal wilayah enam
kecamatan ini menyumbang penghasilan dari pajak sekitar Rp 560 miliar ke Pemkab Tangerang (1999). Pemkab hanya mengembalikan penghasilan ke
masyarakat sekitar 30%. Alhasil, yaitu
tadi, infrastruktur amburadul !
Yang bikin
masyarakat kesal soal layanan pembuatan KTP, KK, Akta Lahir,
Akta Tanah, dan izin yang lain. Bisa menghabiskan waktu berbulan –bulan. Untuk
mengurus surat agraria (tanah),
masyarakat harus datang ke Tiga Raksa yang jauhnya dari Ciputat sekitar 50
KM. Intinya, amburadulnya infrastruktur
dan pelayanan lantaran rentang kendali, antara wilayah selatan dan Pusat
Pemerintahan terlalu jauh.
Adalah
Hidayat, warga Pamuoang, Pegawai Departemen Luar Negeri. Saat ia mengurus KTP kesal bukan main. Berbulan –bulan baru selesai. Merasa pelayanan pemerintah
sangat buruk, terpikirlah oleh Hidayat impian memiliki daerah otonom baru yang
terdiri dari Ciputat, Pamulang dan
Pondok Aren. Impian itu terlintas terus. Maklum situasi pasca reformasi 1998, masyarakat seperti sedang euphoria kebebasan.
Pucuk
dicinta Undang-undangnya tiba. Tahun
1999 Undang –undang No 22 Tentang
Pemerintahan Daerah lahir. Hidayat seperti menemukan “matahari”. Lelaki sederhana yang bekerja di Bagian
Kajian Hukum Departemen Luar Negeri RI
itu, timbul gagasan untuk membuat
pemekaran wilayah yang terdiri dari Ciputat, Pamulang, Serpong dan Pondok Aren menjadi wilayah otonomi baru. Ia
lalu mendiskusikan dengan teman –temannya seperti Sunaryo, Ust Muhari, Romsay, Zubaidi
di rumahnya.
“Kadang
juga kita obrolin di warung kopi. Intinya mereka menyambut baik dan mendukung,”
kata Hidayat suatu kali.
Dari
diskusi berkali –kali itu, mereka sepakat membentuk LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) SPOT (Sentra Pemberdayaan Otonomi Daerah) (1999) untuk wadah
perjuangan pembentukan kota Cipasera
akronim dari Ciputat, Pamulang, Serpong,
Pondok Aren.
Rupanya Hidayat dan SPOT –nya kewalahan. Singkatnya, ia menerobos ke sejumlah aktivis politik dan
tokoh masyarakat. Ia bertemu Ir Basuki
Raharjo, yang aktivis partai. Basuki setuju gabung untuk memperjuangkan, dengan
catatan SPOT ditinggalkan dan membentuk wadah baru dengan memasukan Cisauk dan Pagedangan
serta melibatkan banyak elemen
masyarakat lintas partai. Hidayat setuju. Maka dibentuklah KPPDO –KC (Komite Panitia Persiapan Daerah
Otonomi – Kota Cipasera) 16 Nopember
2001.
KPPDO –KC
seperti magnet. Segera menyedot aktivis
parpol seperti Sania Wiraredja, Teguh
Wijaya, Uut, Yahya Padelang, Irman, Saeful
Radian, Teddy Gumulya, Yardin, Al Mansyur dan lain –lain. Organisasi ini terstruktur dan
menekankan efektivitas gerakan dalam aksinya. Selain itu, KPPDO- KC memiliki program yang
jelas dalam advokasi dan memperluas
dukungan, tercapainya pembentukan Kota Cipasera. KPPDO –KC dipimpin oleh Ir
Basuki Raharjo dan Sekretaris Hidayat, Bendhara Sania Wiraredja.
Tak
hanya itu, KPPDO – KC juga memiliki sekretariatan di Jln Aria Putra , Kedaung,
Ciputat. Dari sinilah dilakukan pemetaan
perjuangan, pencarian dukungan dari tokoh masyarakat dan pejabat yang
bersimpati terhadap pemekaran.
Permintaan dukungan juga dilakukan ke BPD (Badan Perwakilan Desa) di
enam desa. Tak hanya BPD, dukungan juga
mengalir dari organisasisi masyarakat, akademisi dan intelektual.
Mengingat
dukungan seperti bola salju yang terus membesar, KPPDO lantas membuat surat aspirasi yang ditujukan kepada DPRD Kabupaten Tangerang, yang waktu itu masih di
Jl Ki Samaun, Tangerang. Surat itu diterima oleh Dadang Kartasasmita. Surat serupa
dikirim pula ke Bupati Tangerang yang kala itu dijabat oleh Agus Djunara. Surat aspirasi tersebut dilampiri surat
dukungan dari BPD, ormas, tokoh msasyarakat dan lain –lain.
Yang membuat KPPDO-KC dipandang
serius sebagai gerakan social adalah karena KPPDO-KC berhasil
membuat Buku Kajian Kelayakan Pemekaran Kota Cipasera setebal 224 halaman.
Isi buku tersebut isinya antara lain, data populasi pendudukan di Cipasera, geografi, sumber daya
alam, ekonomi, budaya, politik, peluang
dan harapan sebagai kota baru.
Buku
kajian tersebut juga diberikan kepada
sejumlah pejabat Kabupaten Tangerang seperti Ketua DPRD, Fraksi –fraksi,
Bupati dan Sekda serta sejumlah akademisi. (Bersambung)
*Penulis adalah Juru bicara KPPDO - KC