Mengapa Mesti Menyebut Almarhum/mah Bagi Yang Sudah Wafat?
Jumat, 29 September 2017
Edit
Cipasera.com -Almarhum dan almarhumah berasal dari bahasa Arab yang berarti laki-laki dan perempuan yang dirahmati/dikasihi. Kata almarhum/ah ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia dan artinya berubah menjadi: 1.) yang telah meninggal, contoh: almarhum dokter Polan; 2.) untuk menyebut orang yang telah meninggal, contoh: almarhum pernah melawat ke Jepang.
Meskipun telah terjadi perubahan makna, namun sebenarnya kata-kata almarhum dan almarhumah tetap berisi doa untuk orang yang telah meninggal, khususnya untuk orang Islam. Jadi kalau kita mengatakan: almarhum Buya Hamka, itu artinya: Semoga Allah merahmati/mengasihi beliau. Kalau dalam bahasa Malaysia, mereka menyebutnya lebih jelas lagi yaitu: Allahyarham Polan, yang artinya: Semoga Allah merahmati Polan. Hal ini sesuai dengan asalnya dalam bahasa Arab yaitu: Rahimahullah, yang berarti: Semoga Allah merahmatinya.
Adapun untuk orang kafir yang sudah meninggal, kata-kata almarhum dan almarhumah tidak boleh dikatakan kepada mereka. Mereka cukup kita panggil: Mendiang. Ini karena menurut keyakinan kita, hanya orang yang meninggal dalam keadaan Islam saja yang dirahmati Allah. Sedang orang yang meninggal dalam keadaan kufur tidak dirahmati Allah Ta'ala. Dalilnya ialah firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.” [QS. al-Baqarah (2): 161-162]
Dan firmanNya:
Artinya: “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [QS. al-Baqarah (2): 217]
Ayat pertama menunjukkan dengan jelas bahwa orang yang kafir lalu mati dalam keadaan kufur itu akan dilaknat oleh Allah, para malaikat dan manusia sampai hari kiamat, lalu mereka akan kekal dalam laknat itu sampai masuk neraka jahannam, dan laknat tersebut menemani mereka di dalamnya sehingga siksaan mereka tidak diringankan serta tidak ditangguhkan walaupun sebentar.
Sementara ayat yang kedua juga menunjukkan dengan jelas bahwa orang yang beragama Islam lalu keluar dari agamanya itu (murtad), kemudian ia mati dalam keadaan kufur maka amalannya di dunia dan di akhirat dianggap sia-sia (tidak diterima), dan ia termasuk penghuni neraka untuk selama-lamanya.
Jadi dengan demikian kedua ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mati dalam keadaan kafir, baik pada asalnya ia memang orang kafir atau pada asalnya ia beragama Islam lalu murtad, tidak akan mendapat rahmat dari Allah, bahkan mereka itu mendapat laknat atau kutukan dan mendapat siksaan selama-lamanya di neraka.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa orang yang mati dalam keadaan kafir itu tidak boleh kita sebut dengan almarhum/ah. Dan kita boleh dan bahkan dianjurkan menyebut orang Islam yang sudah meninggal dengan sebutan almarhum bagi laki-laki dan almarhumah bagi perempuan, meskipun kita tidak tahu masa lalunya ketika ia masih hidup, baik ia termasuk orang yang saleh atau orang yang fasiq. Ini karena kata-kata tersebut mengandungi doa, semoga Allah merahmati/mengasihinya. Jika ia termasuk orang yang saleh, maka semoga Allah merahmatinya dan mengangkat derajatnya, dan jika ia termasuk orang yang fasiq, maka semoga Allah mengasihaninya dan mengampuni dosa-dosanya.
Adapun bagi orang yang tidak bisa dipastikan agamanya, maka namanya menjadi dasar pertimbangan. Jika namanya nama orang Islam seperti Muhammad, Ahmad dan Abdullah maka kita berhusnuzzan (berprasangka baik) kepadanya sehingga kita sebut almarhum/ah, dan jika bukan seperti itu maka cukup kita sebut dengan mendiang (muhamadyah)