Di Balik Gelar Resmi Sultan Banten Dari Mekkah
Senin, 26 Juni 2017
Edit
Cipasera.com- Kerajaan Banten tempo doeloe punya
pengaruh cukup luas. Tak cuma di pulau Jawa namun juga di manca negara.
Itu terbukti dengan pemberian gelar sultan secara resmi oleh otoritas gubernur
Mekkah, kala era Ustmaniyah
Turky berkuasa.
Catatan sejarah menyebut, raja Banten yang mendapat gelar Sultan resmi tersebut adalah Pangeran Ratu. Pangeran Ratu memperoleh gelar sultan dari Syarif Mekkah atas otorisasi Kekhalifahan Utsmaniyah, 23 Juni 1636. Maka nama Pangeran Ratu lantas berubah menjadi
Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Penguasa
Banten ke-4.
Memang, sebelum Abdulmafakir, para pemimpin kerajaan Islam atau kesultanan yang ada di Indonesia sudah menyandang gelar sultan. Misalnya, Sultan Aceh.Namun, Abdulmafakhir adalah raja Nusantara pertama yang menerima gelar sultan secara resmi dari "Dinasti" Utsmaniyah sebagai kekhalifahan Islam terbesar yang pernah meruntuhkan kejayaan Imperium Romawi Timur itu.( (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, 2008:94)
Memang, sebelum Abdulmafakir, para pemimpin kerajaan Islam atau kesultanan yang ada di Indonesia sudah menyandang gelar sultan. Misalnya, Sultan Aceh.Namun, Abdulmafakhir adalah raja Nusantara pertama yang menerima gelar sultan secara resmi dari "Dinasti" Utsmaniyah sebagai kekhalifahan Islam terbesar yang pernah meruntuhkan kejayaan Imperium Romawi Timur itu.( (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, 2008:94)
Tampaknya pemberian gelar dari otoritas Mekkah mempengaruhi Raja Besar Mataram, Panembahan Agung Hanyakrokesuma. Setelah lima tahun Banten menerima gelar itu, Agung yang pernah menggempur Belanda di Batavia itu pergi ke Mekkah.
Dikutip dari buku Southeast Asia: A Historical Encyclopedia yang disusun Keat Gin Ooi (2004:132), Panembahan Agung Hanyokrokesuma mendapatkan gelar “Sultan” dari otoritas Mekkah Ustmaniyah dengan nama: Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani
Informasi lain, ada kabar
sebelum kawasan Jawa, raja Aceh
sudah lebih dulu menerima. Gelar itu diterima oleh Sultan
Sulaiman Ibn Abdullah Ibn al-Basir. Sultan di Kesultanan Lamuri (Lam Reh) di Aceh itu wafat pada 1211 (M.C. Ricklefs, Bruce
Lockhart, & Albert Lau, A New History of Southeast Asia, 2010:79).
Namun langkanya referensi yang menyebut Sulaiman adalah penguasa kerajaan di
Nusantara pertama yang menyandang gelar sultan dari Mekkah Ustmaniyah, ia
diragukan penerima yang pertama. Sebab tak diketahui gelar tersebut resmi atau sekadar diperoleh lantaran izin semata. (William H.
Frederick dan Robert L. Worden, Indonesia: A Country Study,
2011:xxiii).
Oleh sebab itu hingga kini Abdulmafakhir dari Banten dianggap
sebagai raja pertama yang menyandang gelar sultan secara “resmi” di Nusantara. Atau setidaknya ia adalah wakil Kekhalifahan Turki Usmani di
Nusantara.
Menjadi
Raja Sejak Bayi
Pangeran Ratu –nama asli Sultan Abdulmafakhir– ditetapkan sebagai penguasa Kesultanan Banten
sejak usianya masih 5 bulan. Tahun 1596 itu, ayahnya, Maulana Muhammad wafat di Palembang ketika hendak menguasai
wilayah tersebut untuk dijadikan sebagai wilayah Taklukan.
Maulana Muhammad dan Pangeran Ratu adalah keturunan langsung dari Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati Cirebon. Sunan Gunung Jati membuka jalan Islam ke Banten yang semula dikuasai oleh Kerajaan Pasundan (Pakuan-Pajajaran). Ia adalah ayah dari Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi raja Kesultanan Banten pertama (H.A. Ambary & J. Dumarçay, The Sultanate of Banten, 1990).
Ketika Pangeran Ratu ditetapkan sebagai raja pada 23 Juni 1596, roda pemerintahan Kesultanan Banten dijalankan oleh seorang mangkubumi (perdana menteri) bernama Jayanegara. Setelah Jayanegara wafat pada 1602, jabatan mangkubumi dialihkan kepada adiknya, yaitu Yudhanegara.
Namun, Yudhanegara yang kemudian menikahi ibunda Pangeran Ratu atau janda Maulana Muhammad, Ratu Ayu Wanagiri, tidak terlalu lama menjabat. Pada 17 November 1602 ia diberhentikan karena ternyata kurang cakap memimpin. Mangkubumi Yudhanegara tidak disegani, baik oleh para pejabat kesultanan maupun rakyat Banten (Hamka, Sejarah Umat Islam, 2016).
Maulana Muhammad dan Pangeran Ratu adalah keturunan langsung dari Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati Cirebon. Sunan Gunung Jati membuka jalan Islam ke Banten yang semula dikuasai oleh Kerajaan Pasundan (Pakuan-Pajajaran). Ia adalah ayah dari Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi raja Kesultanan Banten pertama (H.A. Ambary & J. Dumarçay, The Sultanate of Banten, 1990).
Ketika Pangeran Ratu ditetapkan sebagai raja pada 23 Juni 1596, roda pemerintahan Kesultanan Banten dijalankan oleh seorang mangkubumi (perdana menteri) bernama Jayanegara. Setelah Jayanegara wafat pada 1602, jabatan mangkubumi dialihkan kepada adiknya, yaitu Yudhanegara.
Namun, Yudhanegara yang kemudian menikahi ibunda Pangeran Ratu atau janda Maulana Muhammad, Ratu Ayu Wanagiri, tidak terlalu lama menjabat. Pada 17 November 1602 ia diberhentikan karena ternyata kurang cakap memimpin. Mangkubumi Yudhanegara tidak disegani, baik oleh para pejabat kesultanan maupun rakyat Banten (Hamka, Sejarah Umat Islam, 2016).
Kepemimpinan Kesultanan Banten lalu diambil-alih langsung oleh Ratu Ayu Wanagiri. Namun, selama masa pemerintahan ibunda Pangeran Ratu ini, situasi Banten justru bertambah runyam. Beberapa kali terjadi upaya penggulingan kekuasaan yang dilakukan oleh orang-orang dalam istana sendiri. Bahkan, Banten mengalami perang saudara selama setahun sejak 8 Maret 1608.
Berkat andil salah seorang pejabat istana yang bernama Pangeran Jayakarta, polemik tersebut berhasil dipadamkan. Kemudian, diangkatlah Pangeran Arya Ranamanggala (putra Maulana Yusuf, Raja Banten era 1570-1585), sebagai perdana menteri atau wali sultan (Tri Hatmadji, Ragam Pusaka Budaya Banten, 2005:78). (T/Tirto Id dan berbagai sumber)