Pijakan Hari Santri Dipertanyakan Nitizen
Minggu, 23 Oktober 2016
Edit
Salah satu Ilustrasi HSN (Foto: ist) |
Cipasera.com – Berbahagilah para santri Indonesia yang kini punya hari besar yaitu Hari Santri Nasional 22 Oktober. Hari Santri Nasional (HSN) sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui Keppres nomor 22 tahun 2015. Tahun ini diperingati untuk yang kedua dan dipusatkan di Serang, Banten.
Namun pada hari jadinya yang ke 2 HSN dipertanyakan oleh masyarakat di medsoso soal penetapan tanggal 22 Oktober yang nota bene dengan kalender masehi. Salah satunya oleh akun facbook atas nama Teguh Wijaya. Teguh antara lain menulis di status FB : santri itu pastinya Islam. Karena santri sedang mencari ilmu Islam di pesantren. Setahu sy di pesantren tak ada hari istimewa. Setiap waktu dijadikan utk belajar.
Sekarang santri punya Hari santri 22 Oktober. Dan yg dijadikan hari santri adalah kalender masehi. Pertanyaanya, mengapa Hari Santri tak ditetapkan berpijak pada tahun hijriah? Bukankah hijriah itu tahun Islam yg penuh sejarah indah bagi umat muslim?
Status FB tersebut banyak direspon nitizen. Ada yang mengatakan, memang sebaiknya HSN berpijak pada kalender Hijriah. Hal itu agar sesuai dengan tradisi Islam yang dalam kegiatannya hingga kini menggunakan kalender hijri yang hitungannya berdasarkan bulan mengelilingi bumi.
“Cuma pemerintah kan sudah menetapkan, sulit dirubah lagi. Apalagi pijakannya 22 Oktober 1945 adalah Resolusi Jihad NU untuk pertempuran Surabaya. Sulit diubah,” kata Yopi Hansen, anggota majelis tablig kepada cipasera.com.
Menurut Teguh Wijaya, bila pijakan HSN adalah hari resolusi jihad 22 Oktober 1945, konteksnya kurang tepat. Sebab resolusi jihad NU ditujukan kepada masyarakat umum, bukan secara spesifik untuk para santri. Memang penyeru resolusi jihad KH Hasyim Asyahari adalah pengasuh pondok pesantren, namun konteks sosialnya berbeda.
“Pengertian santri itu adalah mereka para pelajar Islam yang belajar di pondok pesantren. Mestinya pijakannya peristiwa yang terjadi yag dialami santri, atau yang sudah jadi budaya santri, yakni kalender hijriah,” pungkas Teguh. (SA)