Masyarakat Tangerang Kutuk Empat Rumah Sakit Tak Manusiawi
Selasa, 06 September 2016
Edit
Masyarakat Tangerang mengutuk rumah
sakit yang menolak bayi berumur 15 bulan untuk diawat dan berakibat meninggal dunia. Erry Satya, dosen di Universitas Islam Tangerang mengatakan, rumah
sakit yang tak peduli pasien miskin, itu ahumanis dan mestinya Kemenkes membei
sanksi keras menutup operasional rumah sakit tesebut..
“Rumah sakit bukan hanya befungsi
bisnis. Tapi juga kemanusiaan. Bahkan kemanusiaan haus didahulukan,” kata
Satya. “Yang mengherankan, RSUD Kab Tangerang memberlakukan hal sama. Ini
konyol. Bupati harus betindak supaya kejadian tak terulang,” tambah Satya.
Seperti ramai diberitakan, seorang bayi perempuan berumur 15 bulan meninggal
setelah ditolak empat rumah sakit di Kota Tangerang. Bayi bernama Mesiya Rahayu
itu diketahui meninggal karena terlambat mendapat pertolongan pertama akibat
infeksi paru-paru yang dideritanya.
Mesiya adalah anak kelima dari
pasangan suami istri Undang Misrun (42) dan Kokom Komalasari (37), yang tinggal
di sebuah kontrakan sempit di RT 02/01, Kelurahan Neglasari, Kecamatan Neglasari,
Kota Tangerang.
Menurut Misrun, peristiwa itu
berawal saat anaknya tiba-tiba muntah dan sesak nafas pada Minggu kemarin
sekitar pukul 01.00 WIB.
Dirinya bersama istri langsung
membawa Mesiya ke klinik setempat. Di sana anaknya sempat ditangani. Namun,
dokter klinik menyebutkan jika Mesiya terkena diare. Sang dokter lalu
merujuknya ke Rumah Sakit Sitanala untuk segera dirawat.
“Saat di RS Sitanala, anak saya
masuk di IGD. Saya sempat mengajukan BPJS. Tetapi tidak diterima karena punya
saya BPJS Ketenagakerjaan. Akhirnya saya mendaftar sebagai pasien umum dengan
membayar Rp370 ribu,” katanya, Senin (5/9/2016).
RS Sitanala pun melakukan penanganan
dengan memberikan infus, menyuntikkan obat dan memberi bantuan pernafasan
dengan oksigen. Dari hasil pemeriksaan dokter, Mesiya didiagnosa infeksi
paru-paru.
“Kemudian pihak RS Sitanala
memberikan rujukan dengan alasan tidak memiliki alat untuk menangani anak
saya,” jelas Misrun yang bekerja sebagai sopir truk sampah di Dinas Kebersihan
dan Pertamaman Kota Tangerang sebagai Tenaga Harian Lepas (THL) ini.
Tanpa diberi tahu harus ke mana,
akhirnya Misrun mencari sendiri rumah sakit untuk merujuk putrinya.
Sementara anaknya masih dirawat di
IGD, Misrun pun berkeliling dengan mengendarai sepeda motor. Dia sempat
mendatangi empat rumah sakit, yakni RSUD Kabupaten Tangerang, RS Sari Asih
Karawaci, RS Melati dan RS Ar-Rahman. Namun semua rumah sakit itu menolaknya
dengan alasan kamar penuh.
“Saya datang bawa surat rujukan,
pihak rumah sakit cuma bilang kamar penuh. Mereka tidak menanyakan KTP saya
ataupun kondisi anak saya. Saya enggak mengerti kenapa,” ujarnya.
Lantaran terlalu lama mendapat
pertolongan, Meisya pun kritis. Nafasnya menjadi sesak hingga akhirnya pada
Minggu pukul 23.30 WIB, nyawanya tidak tertolong. “Sebelumnya, nafasnya jadi
berat dan sesak. Sempat ditolong dokter, dadanya ditekan-tekan tapi tidak
berhasil,” ujar Misrun.
Misrun mengaku kecewa dengan
pelayanan rumah sakit di Kota Tangerang. Padahal dia hendak mendaftar sebagai
pasien umum dengan membayar sendiri biaya pengobatan, bukan dengan bantuan
BJPS. “Jadi pasien biasa aja begini, gimana saya pakai BPJS,” ujarnya.
Misrun juga mengatakan, meski sudah
bekerja menjadi petugas kebersihan di DKP selama hampir 22 tahun, namun dia
tidak mendapat jaminan kesehatan untuk keluarga. Setiap keluarganya sakit, dia
harus membayarnya sendiri.
“Tidak ada bantuan kesehatan, semua
pakai biaya sendiri,” pungkasnya.Jenazah Mesiya sudah dimakamkan di
TPU Selapajang pagi tadi pukul 09.30 WIB setelah disemayamkan di rumahnya. (Ts/OKZ)