KPK Punya Banyak Pintu Tersangkakan Ahok
Senin, 30 Mei 2016
Edit
Sindiran atau kitikan masyarakat kepada KPK lewat meme. (Foto :IST) |
JAKARTA.Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) bisa menjadikan tersangka Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) dalam skandal 'perjanjian preman'. Demikian menurut inisiator Advokat
Cinta Tanah Air Habiburokhman.
"Saya kira KPK tidak akan sulit
membuktikan kevalidan informasi tersebut. Kini, Agus Rahardjo (Ketua KPK)
tinggal memastikan kesesuaian keterangan Presiden Direktur Agung Podomoro,
Ariesman Widjaja, alat bukti dokumen yang disita dari kantor Agung Podomoro dan
keterangan saksi-saksi dari Pemprov DKI," kata Habiburokhman, Jakarta,
Senin, (30/5/2016).
Dia menuturkan, setidaknya ada tiga
hal yang dapat digunakan KPK untuk menjerat Ahok sebagai tersangka setelah
'kepergok' menaikkan kontribusi tambahan reklamasi 15 persen.
"Pertama, ini jelas tidak
adanya payung hukum untuk pemungutan dana tersebut. Istilah hukum yang paling
tepat untuk dana kontribusi tambahan tersebut adalah retribusi," katanya.
Habiburokhman menjelaskan, Pasal 1
angka 64 UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Retribusi Daerah dan Pajak Daerah, yang
dimaksud retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah.
Menurut Habiburokhman, Pasal 23A UUD
1945 menyatakan 'pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang'. Norma yang demikian mempunyai makna bahwa segala sesuatu pungutan yang menjadi
beban rakyat harus atas sepengetahuan rakyat melalui representasinya di lembaga
perwakilan rakyat DPRD DKI.
Sementara detailing pengaturan
retribusi terdapat pada Pasal 286 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah yang mensyaratkan pungutan retribusi daerah harus
ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di daerah diatur lebih lanjut
dengan Perda.
"Selain itu Pasal 156 UU Nomor
28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah juga mengatur bahwa
retribusi ditetapkan dengan Peraturan Daerah," beber Habiburokhman.Dengan demikian, lanjut
Habiburokhman, payung hukum retribusi tidak bisa dengan Peraturan Gubernur atau
Instruksi Gubernur atau peraturan lain yang perumusannya tidak memerlukan
persetujuan lembaga perwakilan.
Dalam kasus retribusi reklamasi ini
Perda yang mengatur soal retribusi terkait reklamasi belum disahkan oleh DPRD
DKI, tetapi pungutan retribusi sudah dieksekusi.
Kedua, lanjut Habiburokhman, melalui
informasi adanya memo yang menunjukkan persetujuan Ahok agar Agung Podomoro
membayar kontribusi tambahan terkait reklamasi.Kata Habiburokhman, jika benar
dokumen tersebut merupakan bukti yang sangat kuat bahwa Ahok mengetahui atau
bahkan bertanggung-jawab atas pengeluaran dana tersebut. Selain karena memo,
keterlibatan Ahok juga diliat dari perspektif kedudukannya sebagai Kepala
Daerah.
"Salah satu kewenangan kepala
daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan daerah yakni menetapkan kuasa pengguna anggaran. Hal ini diatur di
dalam pasal 5 huruf b UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara," tegas dia.
Ketiga, adalah informasi bahwa
penggunaan dana yang tanpa tender. Padahal, dana tersebut bukan merupakan
hibah, melainkan akan dikonversi dengan kewajiban retribusi Podomoro terkait
reklamasi yang hingga saat ini belum ditetapkan oleh DPRD.
Sebagaimana diketahui bahwa menurut
Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 Tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, setiap pengadaan barang harus dilaksanakan dengan mekanisme tender.
"Kami berharap agar KPK bisa
bekerja cepat, transparan dan profesional dalam kasus ini. Perlu diingat bahwa
tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang sangat rawan terhadap
penghilangan alat bukti dokumen dan rekayasa keterangan saksi," ungkapnya.
"Jadi, jika memang sudah ada
bukti permulaan yang cukup, baiknya KPK segera menetapkan tersangka baru.
Siapapun itu, termasuk Ahok jika memang bersalah harus segera diseret ke meja
hijau," pungkas dia. (TS/mnx/TeSe)