Tjokroaminoto Pergulatan Islam dan Nasionalis
Sabtu, 12 Maret 2016
Edit
Oleh: Humaidi
Dalam
kontruksi sejarah Indonesia, perdebatan antara kelompok nasionalis sekuler
dengan nasionalis-agama tidak pernah selesai. Keduanya terus bertarung
memperebutkan hegemoni dalam kekuasaan. Para sejarawan Indonesia cenderung
menelusuri pertarungan tersebut sejak perdebatan piagam Jakarta, tetapi ada
juga yang mengambil klaim lebih jauh lagi hingga pertarungan dalam tubuh
Sarekat Islam di tahun 1910-an.
Tjokroaminoto
dan Perjuangan Nasionalisme
Oemar
Said Tjokroaminoto lahir pada 1882, dari keluarga priyayi di Ponorogo.
Pada awalnya, ia juga mengikuti jejak kepriyayian ayahnya, sebagai pejabat
pangreh praja. Ia masuk pangreh praja pada tahun 1900 setelah menamatkan studi
di OSVIA, Magelang. Pada tahun 1907, ia keluar dari kedudukannya sebagai
pangreh pradja karena ia muak dengan praktek sembah-jongkok yang dianggapnya
sangat berbau feodal. Ia kemudian hijrah ke Surabaya, ikut sekolah malam
tehnisi dan kemudian bekerja menjadi tehnisi di pabrik gula Rogojampi. Setelah
SI berdiri, ia keluar dari pekerjaan dan menjadi pemimpin pergerakan di
Surabaya. Dari pergerakan inilah –lewat memimpin SI dan Perusahaan Setia
Oesaha- ia mampu mencukupi kehidupannya.
Sebagai
pemimpin SI, ia dipuja bak ksatria menang setelah perang. Ia dianggap orang
yang berbakat dan mampu memikat massa. Bahkan ia juga merupakan guru yang baik,
dan mampu melahirkan tokoh-tokoh pergerakan hingga awal kemerdekaan. Diantara
murid-murid Tjokro yang terkenal adalah Sukarno, Kartosuwiryo dan juga
Musso-Alimin. Sukarno, sebagaimana dikenal luas, adalah murid dan penghuni
pondokan Tjokro, serta juga menantu Tjokro.[3]
Sukarno menyerap kecerdasan Tjokro, terutama dari gaya berpidato. Pada masa
kemerdekaan, Sukarno dikenal sebagai tokoh nasionalis, proklamator dan presiden
R.I. Kartosuwiryo, juga pernah beberapa tahun tinggal bersama Tjokro.[4]
Setelah kemerdekaan, Kartosuwiro mendirikan Darul Islam sebagai perlawanan
terhadap Sukarno. Musso-Alimin, dua tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), juga
merupakan murid Tjokro.[5]
Keduanya, Pada tahun 1948 di Madiun, juga bertarung dengan Sukarno. Jadi
pertarungan Nasionalisme Sukarno- Islam Kartosuwiryo-Komunis Musso/Alimin,
adalah pertarungan antara murid-murid Tjokro. Hal ini mengisyaratkan bahwa
Tjokro ditafsirkan berbeda oleh para muridnya. Dalam beberapa hal, ide Tjokro
lebih dimengerti Sukarno yang mengolahnya menjadi Nasakom, sebagai lambang
persatuan nasional.
Disaat
masuk dalam wilayah pergerakan nasional, Tjokro pada awalnya mulai dikenal
sebagai pemimpin lokal Sarekat Islam (SI) di Surabaya. Dalam
aktivitas-aktivitas SI, Tjokroaminoto yang kemudian menduduki posisi sentral di
tingkat pusat, menjadi demikian berpengaruh bukan hanya karena ia adalah
redaktur Suara Hindia, tetapi juga karena tidak adanya orator saingan
dalam vargadering-vargadering SI yang sanggup mengalahkan “suara
baritonnya yang berat dan dapat didengar ribuan orang tanpa mikrofon”.[6]
Dibawah kepemimpinannya, Sarekat Islam menjadi organisasi yang besar dan bahkan
mendapat pengakuan dari pemerintahan kolonial. Hal ini tidak lain, adalah
sebagai hasil pendekatan kooperatif yang dijalankan Tjokroaminoto.
Ketika
terjadi polemik keanggotaan ganda dalam tubuh Sarekat Islam, Tjokro adalah
tokoh yang menginginkan persatuan SI dapat dipertahankan. Ia lebih
mengidentifikasikan dirinya sebagai perekat antar pihak yang bertikai, walau
dalam beberapa hal ia lebih dekat kepada kelompok SI- Putih. Menjelang
perpecahan SI, personalitas Tjokro mulai banyak dipertanyakan. Pada 6, 7 dan 9
Oktober 1920, Dharsono membuat artikel panjang mengkritik Tjokro yang dianggap
menyengsarakan SI dengan pengeluaran kepentingan pribadinya yang berjumlah
besar (3000 gulden). Dharsono menuduh secara tidak langsung dengan mengatakan
bahwa Tjokro terlibat penggelapan, “mengapa CSI tidak punya uang…sedangkan
Tjokro kelimpahan”, demikian tulis Dharsono.[7]
Pada
Agustus 1921, Tjokro diciduk penguasa Belanda. Hal ini merupakan kesempatan
untuk membersihkan nama baiknya, karena dipenjara artinya menjadi martir dan
memberinya kekuatan dimasa yang akan datang.[8]
Pada April 1922, ia dibebaskan tetapi ia tidak kembali ke Jogjakarta, melainkan
ia mendirikan markas baru di Kedung Jati (sebuah kota kecil strategis yang
merupakan titik temu jalur kereta api Semarang dan Jogjakarta). Dikota ini, ia
mulai memofuskan diri pada persatuan Islam, tetapi independen atau lepas dari
Muhammadiyah. Pada tahun itu juga, ia mendirikan Pembangunan Persatuan bersama
Raja Mogok, Soepjopranoto untuk menarik dukungan Perserikatan Pegawai Pegadaian
Bumiputera (PPPB) kepada CSI.[9]
Setelah propagandanya gagal, ia pun kembali ke Markas CSI di Jogjakarta. Kelak
dari kegagalannya inilah, pada akhirnya Tjokro mulai merubah pandangan
persatuan nasionalismenya, menuju pandangan nasionalisme yang dibangun atas
dasar Islam. Jika sebelumnya, Islam dipandang secara kurang serius, hanya
berfungsi sebatas pemaknaan simbolik. Maka sesudahnya ia mulai merapatkan
barisan nasionalisme, dengan menyatukan kelompok Islam terlebih dahulu.
Menuju Pemikiran Nasionalisme-Islam
Selanjutnya,
tepat ketika ia berumur 40 tahun, Tjokro mulai beralih kepada Islam dalam arti
yang lebih serius. Pada September 1922, ia mulai menerbitkan artikel berseri
“Islam dan Sosialisme” di Soeara Boemiputera dan mencoba mendasarkan pandangan
sosialismenya pada Islam. Pada Kongres Al-Islam di Cirebon, 31 Oktober-2
November 1922, ia juga diangkat sebagai ketua kongres. Arti penting kongres
ini, seperti dikatakan Agus Salim, yaitu untuk “mendorong persatuan segala
golongan orang Islam di Hindia atau Orang Islam di seluruh dunia dan
Bantu-membantu” dan melihat Kemal Attaturk sebagai pemimpin teladan yang
bekerja demi persatuan Islam (baca, Pan Islamisme).
Sebagai
tokoh SI, ia kemudian melakukan tur propaganda ke pertemuan SI-SI local. Dalam
pidatonya ia sudah melakukan pendikotomian antara Islam dan komunis. Baginya SI
adalah berdasarkan Islam, dan karena kaum komunis itu Atheis (tidak bertuhan)
maka komunisme tidak sesuai dengan SI.[10]
Sesudah kongres CSI di Madiun, 17-23 Februari 1923, Tjokro semakin mengecam
kaum komunis. Bahkan ia juga akan membentuk SI dan PSI tandingan, ditempat-tempat
dimana kaum komunis melakukan kontrol terhadap SI.[11]
Dengan demikian, dimulailah suatu upaya disiplin partai, untuk membersihkan SI
dari unsur komunis. Akibatnya kelompok SI pro-komunis, mengadakan kongres
tandingan di Bandung dan Sukabumi pada Maret 1923. Dalam forum itu, Tjokro
dikecam oleh HM Misbach, bahkan Tjokro dianggapnya sebagai racun karena
dianggap melakukan pembohongan dengan dikotomi Islam-komunis. Misbach menuding
bahwa Tjokro hendak menjadi raja dan juga mengungkit kembali skandal Tjokro
yang pernah diungkap Dharsono. Secara substansial, Misbach juga menolak
dikotomi Tjokro, baginya Islam dan komunis adalah sama, karena memperjuangkan
sama rata-sama rasa.[12]
Kecaman Misbach terhadap Tjokro, mendapat kecaman balik dari Sukarno, sehingga
pada akhirnya Misbach-pun meminta maaf atas pidatonya yang menyinggung.
Sambil
merapatkan barisan Islam dalam SI, pada 1924 Tjokro kemudian mulai aktif dalam
komite-komite pembahasan kekhalifahan yang dicetuskan pemimpin politik Wahabiah
di Arabia, Ibnu Saud. Tentu saja, sikap Tjokro kali ini mendapat tantangan dari
kelompok Islam-tradisional yang kemudian mendirikan NU.[13]
Selanjutnya pecah pemberontakan PKI pada tahun 1925, yang kontra-produktif
terhadap gelombang pasang pergerakan nasional. Hal ini juga menimpa kegiatan
Tjokroaminoto dan PSI-nya.
Pada
1928, kegiatan kaum pergerakan mulai mengarah kepada suatu persekutuan
organisasi. Dalam hal ini, PSI masuk kedalam Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan
Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), bersama dengan PNI dan
organisasi-organisasi kedaerahan. Untuk mempertahankan PSI dari ancaman
nasionalisme sekuler PNI, Tjokro juga mengingatkan anggotanya agar tidak masuk
organisasi yang tidak berdasar agama.[14]
Sentimen PSI yang menimbulkan serangan balik nasionalis-sekuler serta
kecurigaan bahwa akan ada penguasaan atas PPKI yang dilakukan PNI atau PSI, menimbulkan
hubungan yang kurang harmonis dalam PPPKI.
Dalam
posisi ini, Tjokro bertindak sebagai tokoh kompromi untuk menyelamatkan PSI.
Namun, pada 1930, PSI yang mengubah nama menjadi PSII akhirnya keluar dari
PPPKI.[15]
Dalam kondisi pergerakan politik yang penuh kecurigaan ditambah lagi dengan
pembatasan yang dilakukan pemerintahan kolonial, karir politik Tjokro pun
berjalan meredup. Pada bulan Desember tahun 1934, Tjokroaminoto pun meninggal
dunia pada usia 52 tahun.
Pemikiran-Pemikiran Tjokroaminoto
Sebenarnya,
dalam paparan kehidupan Tjokro diatas, sudah menyiratkan sejauhmana Tjokro
memikirkan nasionalisme dan Islam. Namun, penulis melihat ada dua perbedaan dalam
diri Tjokro dalam menafsir dan memahami nasionalisme dan Islam. Dan perubahan
hal ini terjadi ketika Tjokro berumur 40 tahun, yaitu pada 1922. Penulis
memberi istilah bagi masa sebelum dan sesudah Tjokro berumur 40 tahun dengan
dikotomis “Tjokro Muda” dan “Tjokro Tua”. “Tjokro Muda” adalah Tjokro yang
bersemangat, dan melihat Islam sebagai alat untuk memperjuangkan nasionalisme,
memperjuangkan persatuan nasional. Sementara “Tjokro Tua” adalah Tjokro yang
mulai berfikir secara dikotomis yaitu membedakan Islam dan komunisme sebagai
bagian terpisah dalam menafsirkan nasionalisme.
Dalam
paruh “Tjokro Muda”, kita dapat menemui klaim kecenderungan Islam sebagai alat.
Dalam sebuah pidatonya disebuah vargedering di Semarang, Tjokro
bercerita mengenai maksud pendirian SI sebagai sebuah perkumpulan yang
dipertalikan agama. Lebih jauh ia mengungkapkan:“
Dengan
alasan agama itu, kita akan berdaya upaya menjunjung martabat kita kaum bumi
putera dengan jalan yang syah. Menurut dalil dari kitab (kita lupa
dalilnya dan namanya kitab tadi, red), orang pun mesti menurut pada
pemerintahan rajanya. Siapakah sekarang yang memerintahkan pada kita, bumi
putra? Ya, itulah kerajaan Belanda, oleh sebab itu menurut syara agama islam
juga, kita harus menurut kerajaan Belanda. Kita mesti menepi dengan baik-baik
dan setia wet wet dan pengaturan belanda yang diadakan buat kerajaan belanda. “[16] Setelah
itu ia berkata dengan nada lantang“ lantaran diantara bangsa kita banyaklah
kaum yang memperhatikan kepentingannya sendiri dengan menindas pada kaum
yang bodoh. Maka kesatriaan kaum yang begitu sudah jadi hilang dan
kesatriaannya sudah berbalik jadi penjilat pantat”[17]
Untuk
mengejar ketertinggalan kaum bumi putera, Tjokro juga tidak lupa menuturkan
cerita Subali dan Sugriwa yang mencari Cupu Manik Astragino. Dalam cerita
tersebut, digambarkan mengenai Subali dan Sugriwa yang siap mati untuk
mendapatkan senjata itu. Tentu, penceritaan ini adalah sebuah ajakan simbolik,
dengan menggunakan pendekatan “world view” masyarakat Jawa. Cupu
diartikan sebagai adalah lambang kemajuan, sedang Subali dan Sugriwa adalah
merujuk kepada kaum bumi putera yang sedang mengejar kemajuan, yang bersedia
mengorbankan diri demi sebuah cita-cita. Arti penting dari pemaparan ini
menunjukkan beberapa hal. Pertama, kadar pemahaman Tjokro mengenai Islam
tidaklah mendalam, cenderung biasa-biasa saja. Ia menjadikan Islam hanya
sebatas klaim legitimasi, tetapi ia lupa mendasarkan klaimnya dari kitab apa,
ayat apa. Kedua, terlihat watak sinkretis dalam pemahaman ke-Islaman
Tjokro. Pada satu sisi ia mengambil pembenaran secara agama, tetapi pada sisi
lain ia juga menyandarkan pada cerita wayang yang notabenenya bekas peninggalan
budaya hinduisme-jawa yang membekas pada pemahaman golongan Islam abangan.[18]
Pada
perkembangan pemikiran Tjokro selanjutnya, tidak banyak berubah. Saat ia
berpidato mengenai Islam, hal ini banyak ditujukan bagi symbol persatuan
nasional. Tjokro misalnya berpendapat bahwa solidaritas bumi putra
dibangun atas nama Islam. Dan orang-orang diberitahu bahwa semua anggota SI
bersaudara, terlepas dari umur, pangkat dan status.[19]
Pada Kongres CSI 1917 di Batavia, melihat tantangan radikalisme dari Semaun.
Tjokro bahkan dengan berani mengatakan:
“Yang
kita inginkan adalah: sama rasa, terlepas dari perbedaan agama. CSI ingin
mengangkat persamaan semua ras di Hindia sedemikian rupa sehingga mencapai
(tahap) pemerintahan sendiri. CSI menentang kapitalisme. CSI tidak akan
mentolerir dominasi manusia terhadap manusia lainnya. CSI akan bekerjasama
dengan saja yang mau bekerja untuk kepentingan ini.
Dengan
demikian, apabila kita melihat pidato diatas, maka istilah “sama-rasa” secara
awam merujuk kepada konsepsi pembentukan kelas khas Marxis. Entah,
apakah disini kosa-kata ini muncul sebagai sesuatu konsep yang sadar, atau
hanya bersifat reaktif terhadap Semaun yang saat itu semakin radikal.
Memang,
terdapat juga kecenderungan bahwa pada beberapa kesempatan, Tjokro mulai
berfikir serius mengenai Islam. Misalnya, adalah kasus artikel “Djojodikoro”
dalam Djawi Hiswara yang ditulis pada awal Januari 1918. Dalam artikel itu
Martodharsono menulis bahwa “Gusti Kandjeng Nabi Rasul minum A.V.H
gin, minum opium dan kadang suka menghisap opium”. Artikel ini mendapat
perhatian Tjokro untuk menunjukkan simpatinya terhadap Islam. Tjokro membalas
artikel itu dengan tulisan tandingan, bahkan juga ia membentuk dan memimpin
Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) di Surabaya untuk mempertahankan
kehormatan Islam, Nabi dan kaum Muslim.[21]
Namun terbukti kemudian, bahwa kerja-kerja Tjokro ini bukan hanya bertujuan
membela Islam, tetapi juga sebagai alat atau upaya untuk memperluas jaringan
politiknya. Hal ini terbukti dengan banyaknya berdiri cabang-cabang SI yang
berjalan seiring dengan pendirian TKNM.
Hal
yang menandai perubahan dalam diri Tjokro, yang membuatnya lebih memikirkan
Islam, adalah pada 1922. Ada dua hal yang kiranya dinilai penting atau bahkan
memicu terjadinya perubahan dalam diri Tjokro. Pertama, sejak Agustus
1921 hingga April 1922, Tjokro berada dalam penjara. Keadaan ini, tentu saja
dilihat Tjokro sebagai suatu proses simbolik untuk melakukan refleksi. Sangat
mungkin juga, ada pemaknaan lain bahwa umur 40 tahun dalam penjara, adalah
daulat akan keberadaannya sebagai pemimpin pergerakan, sama dengan umur Nabi
Muhammad ketika diangkat menjadi utusan Allah. Kedua, Setelah keluar
dari penjara, ia berusaha untuk kembali ke CSI dan menarik pengikut dari kaum
buruh. Usahanya ini gagal! Tentunya, hal ini semakin menguatkan perspektif
Tjokro bahwa untuk membangun nasionalisme dalam arti yang luas, tidak dapat
dibangun dari sesuatu yang general. Nasionalisme harus dibangun atas dasar
kesamaan, dan untuk itu diperlukan unsur pembeda guna membersihkannya dari
unsur lain. Tjokro percaya hal itu adalah Islam.
Pemahaman
“baru” Tjokro mengenai Islam, secara substansial tampak dalam brosur
“Sosialisme didalam Islam”. Brosur ini, selain sebagai hasil kerja pikiran
Tjokro, juga sebuah pembentukan opini dan upaya untuk menarik mereka yang sudah
teracuni komunis untuk kembali kepada SI. Brosur tersebut berisikan
beberapa hal pokok, yaitu perikemanusiaan sebagai dasar bangunan Islam,
perdamaian, sosialisme dan persaudaraan. Islam sama dengan sosialisme karena
tiga hal, yaitu unsur kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Dari segi isi,
kelihatannya Tjokroaminoto sudah ingin memberi batasan antara Sosialisme Islam
dan komunisme. Karena sosialisme Islam, menyandarkan kekuatannya kepada Allah.[22]
Selanjutnya
sebagai bukti kecenderungan pemahaman Islam sebagai sebuah ideology, juga
diarahkan secara politik. Sejak 1922 hingga 1924, Tjokro bahkan aktif menjadi
pemimpin dari kongres Al-Islam yang disponsori kaum modernis (diantaranya Agus
Salim dan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Al-Irsyad). Selanjutnya Tjokro juga amat
bersemangat dalam menanggapi isu kekhalifahahan yang digulirkan Ibnu Saud. Hal
yang mengakibatkan ia di curigai berpaham Wahabiah, yang kelak menyingkirkan
keberadaan empat mazhab yang berkembang di Indonesia (khususnya di Jawa).
Jelas, dalam konteks ini ide-ide pan-Islamisme sudah membayang dalam pemikiran
Tjokro.
Pada
akhirnya kecenderungan pan-Islamis semakin menguat dalam pemikiran Tjokro.
Ketika muncul federasi PPPKI, PSI yang diketuai Tjokro sangat ingin muncul
sebagai kekuatan yang menguasainya. Bahkan ia juga semakin keras berpidato
mengenai dikotomi nasionalisme Islam dan sekuler. Kaum beragama, harus memilih
organisasi yang didasarkan agama, tutur Tjokro. Arti dari gerakan Pan-Islamis
Tjokro ini, menyiratkan bahwa setidaknya yang dibayangkan Tjokro adalah sebuah
nasionalisme, sebuah kebangsaan yang didasarkan semangat persatuan nasib. Islam
maupun sekuler, dalam dikotomi ini, di akui sebagai unsur yang sedang berjuang
demi nasionalisme.
Catatan Penutup
Setelah
menelusuri kehidupan dan sedikit pemikiran Tjokro, kita akan mendapatkan
kesimpulan singkat bahwa Tjokro berjuang bagi nasionalisme dan juga bagi Islam.
Pemahaman Islam pada diri Tjokro, memang tidak terlalu mendalam, tetapi cukup
besar diarahkannya bagi suatu praktik propaganda politik. Satu hal yang penting
bagi Tjokro, ia berfikir reflektif sebagai respons atas pertautan zamannya.
Islam ditemukannya sebagai suatu ideology, dari lorong sempit terali penjara
dan juga dari kegagalannya membangun komunitas di Kedung Jati. Islam
ditemukannya, setelah nama baiknya dihempaskan akibat skandalnya yang diungkap
Dharsono.
Setelah
menemukan Islam, maka Tjokro memberi geist baru bagi Islam yaitu dengan
sosialisme, yang coba digali dari dalam Al-Qur’an. Tampaknya, Tjokro sadar akan
bahaya sosialisme yang dengan “keseksiannya” banyak menarik pengikut dari
aktivis pergerakan. Jika Islam dimaknai secara pasif, bukan suatu unsur yang
“seksi”, menarik dan berjuang bagi perubahan, maka langkah Islam tidak akan
beranjak dari fungsi praktik ritual belaka. Bagi Tjokro, Islam adalah sesuatu
yang harus diperjuangkan dan di persatukan, sebagai dasar kebangsaan yang
dibangun dalam proses menuju Indonesia.
Selain
melihat Tjokro dari konteks ke-Indonesiaan, tipekal Tjokro adalah type-type
manusia perubah. Ia identik dengan Al-Afghani, yang juga merupakan tokoh
politik Pan-Islamisme. Tjokro dan Afghani, juga sama-sama menemui kegagalan
dalam perjuangan Pan-Islamismenya. Namun, arti penting keduanya, bukan pada
kemenangan atau kekalahan. Keduanya menjadi penting, karena menggulirkan sebuah
momentum perubahan pemikiran dalam Islam. Keduanya juga menjadi ruh perjuangan
bagi kepentingan Islam Politik. Al-Afghani memberi inspirasi kepada Abduh,
Ridha dan juga Iqbal dalam praktik pergerakan Mesir dan Pakistan. Sedangkan
Tjokro, justru lebih plural, karena inspirasinya mengalir bagi
nasionalisme-Islam bahkan komunis. Adapun kelompok Islam yang
menjadikannya sebagai inspirasi adalah kaum modernis Masyumi, seperti Mohammad
Natsir, Kasman, Prawoto dan tentu saja anak-anaknya, Anwar dan Harsono. Dengan
demikian, Tjokro merupakan mitra dialog aktif bagi zamannya dan juga bagi zaman
sesudahnya. Dan ruh Tjokro, masih akan terus “bergerak”, ketika Islam
diartikulasikan sebagai penggerak yang aktif, tidak statis!