Jokowi Dalam Lilitan Mafia China
Rabu, 23 Maret 2016
Edit
Special Interest Group
yang terdiri dari para taipan ini memenuhi semua syarat memenangi lobi
tingkat tinggi. Itulah lingkaran Gurita Bisnis yang menguasai Jokowi hari
ini.
Di dunia korporasi, nama-nama taipan
berikut sudah seperti setengah dewa: Edward Soeryadjaya, James Riyadi, Sofjan
Wanandi, Anthony Salim, Tommy Winata, Robert Budi Hartono, Tahir, Jacob
Soetoyo. Lagenda Sembilan Naga, bangkit dari kesunyian. Belakangan muncul Rusdi
Kirana.
Benar, para Raksasa Bisnis itu
merangkak dari bawah. Tapi sistem ekonomi apa di dunia ini hingga nama-nama itu
acapkali dinobatkan sebagai Orang Terkaya di Indonesia. Di banyak negara, bukan
hanya Indonesia, hubungan korporasi dan negara sudah seperti dua sisi mata uang.
Korporasi adalah pemain utama kegiatan dan penguasaan ekonomi; amat
mempengaruhi rezim kekuasaan.
Itulah kenapa, sekian nama taipan
bermasalah di atas walau masih menunggak kasus hukum, tapi sampai hari ini tak
tersentuh. Anthony Salim misalnya. Pemilik Indofood ini dililit kasus
pengemplang dana BLBI, namun tidak terbukti oleh Kejaksaan Agung 2009. Tapi
kini ia terseret dalam kasus keberatan pajak yang membelit Hadi Poernomo,
mantan Dirjen Pajak. Kasus keberatan pajak BCA ditengarai menjadi pintu masuk
untuk membuka kembali kasus BLBI itu.
Edward Soeryadjaya, bos Ortus
Limited Holdings, juga didera kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Depo
Pertamina Balaraja, Tangerang. Nilai kerugian negara ditaksir mencapai 12,8
juta US$. Kakaknya, Edwin Soeryadjaya, juga bertikai dengan taipan
bermasalah lainnya, Sukanto Tanoto. Dia pemilik Raja Garuda Mas, mengakui
dirinya pengagum Jokowi.
Pertempuran habis-habisan dua taipan
itu sampai ke pengadilan Singapura, memperebutkan Adaro Energy. Kasus ini
berbuntut penggunaan hak angket DPR 2008 atas kejahatan transfer pricing
perusahaan raksasa batu bara itu. Kerugian negara per bulan ditaksir mencapai
400-an miliar. Hasilnya: Angket Adaro di DPR
kandas. Beleid permintaan Ditjen Pajak kepada interpol untuk memburu Tanoto ke
luar negeri, lenyap. Aroma suap 1 miliar per kepala anggota DPR menyengat.
Adaro dengan berdiri tegap melakukan IPO, 2009. Itulah rekor IPO terbesar
pertama dalam sejarah Bursa Efek Indonesia, meraup dana sampai Rp 12 triliun.
Pasca Soeharto tumbang, para
penumpang rezim Orde Baru itu berhasil mempertahan kerajaan bisnisnya juga
dengan cara menunggang berbagai elemen civil society. Termasuk media
massa, akademisi kampus dan kelompok budaya. Para taipan menggunakan strategi
“makan bubur panas”. Yaitu menggiring opini dari pinggir-pinggir untuk sampai
ke tujuan utama.
Dalam kasus Asian Agri kelompok
bisnis Raja Garuda Mas misalnya. Inilah kasus penunggak pajak sebesar Rp 1,29
triliun, yang melibatkan Vincentius menjadi justice collaburator
kasus ini. Majalah TEMPO habis-habisan menyorotnya melalui liputan investigasi.
Sebagai balasan, Raja Garuda Mas menyewa sejumlah akademisi UGM membuat riset
menilai objektivitas pemberitaan itu. Di kalangan sejumlah akademisi, muncul
plesetan “UGM: Universitas Garuda Mas”. Plesetan itu makin menggema
ketika mantan Rektor UGM menjadi Direktur Eksekutif Tanoto Foundation.
Jaringan sosial-politik kepentingan
korporasi itu sebangun dengan kejahatan korporasi di tengah ketidakmerataan
kemakmuran. Praktik ini makin subur dalam kondisi karut-marutnya penegakan
hukum negeri kasus korupsi pasca 1998. Prioyono B. Sumbogo, kriminolog
UI, dalam disertasinya membuktikan secara ilmiah akan hal itu. Di sektor bisnis
terlarang, beberapa aktor korporasi itu melibatkan organisasi kejahatan
internasional seperti Triad dan Yakuza. Aparat negara tutup mata.
Anatomi jaringan aktor merasuki
kekuasaan negara dan jaringan sosial yang ada itu memang sulit diraba. Karena
praktiknya selalu bawah tanah. Inilah kelompok elit yang amat spesial. Biasa
disebut dengan Special Interest Group (SIG). Jangankan di Indonesia. Di negeri
segagah Amerika saja tidak bebas dari pengaruh SIG. Hamid Basyaib, wartawan
senior, mencatat: sejak dekade 1990-an, sejumlah analis dan pers AS seringkali
meragukan presiden AS mengendalikan SIG. Baik rezim Bush, Clinton maupun Obama.
Tantangan terberat pertama sebelum diambil sumpah jabatannya justeru memformat
strategi bagaimana mengelola SIG.
Jumlahnya saja untuk ukuran negara
bagian Arkansas yang kecil, saat Bill Clinton menjadi gubernurnya, dia harus
menghadapi 500-an SIG. Dari sekian itu, ada level SIG yang jadi sponsor
eksklusif di balik Clinton berkuasa. SIG lingkaran inti Clinton itu mendirikan think
thank. Namanya “Arkansas Connection”, berafilisasi dengan James Riady,
sponsor-nya Jokowi. SIG, walau di luar struktur
kekuasaan, tapi mengendalikan jantung kekuasaan politik, ekonomi dan keuangan
AS. Mereka membesarkan politisi untuk dipersiap menuju Gedung Putih dan Capitol
Hill. Jika jagoannya menang dalam Pemilu, kebijakan rezim untuk kepentingan
nasional itu didikte mengikuti misi korporasi SIG. Demikian pula dengan
Capitoll Hill. Sulit menolak apa yang telah ditanam oleh SIG. Termasuk
mengondisikan lembaga peradilan.
Kalau jagoan kalah, mereka sedapat mungkin
menjangkau sebagaimana lobi Israel. Menang atau kalah dalam Pemilu, SIG pada
tingkatan lebih eksklusif sebetulnya tak ada urusan. Karena kelompok yang kaya
raya ini memenuhi semua syarat memenangi sebuah lobi tingkat tinggi. Mereka memiliki perangkat
administrasi, komunikasi, teknologi canggih, dan akuntan handal. Memiliki
jaringan luas untuk menugaskan para ahli terpercaya sebagai operatornya dengan
bonus dan gaji yang sangat tinggi. Mereka punya kapital kuat dalam
tawar-menawar untuk menakluk dua jantung kekuasaan AS itu.
Mereka memiliki asosiasi profesi
sesuai dengan bidang bisnisnya. Para sarjana terbaik direkrut dan berkolaburasi
dengan praktisi yang bangkotan di bidangnya. Dengan data dan analisa
berupa kajian yang sangat menyakinkan, seringkali pemerintah AS tak berdaya.
Sangat agresif. Suap-menyuap mewarnai rangkaian proses lobi itu. Terutama
sokongan modal untuk Pemilu berikutnya.
Di titik didih konflik kepentingan
antara publik dan kelompok SIG itulah praktik kejahatan kerah putih ala mafioso
itu akhirnya remang-remang. Karena berlindung di balik perangkat kebijakan dan
melekat di jantung kekuasaan. Benjamin B. Wager, Jaksa Agung Distrik
Timur California, yang diangkat Obama pada 2006 berkesimpulan: kejahatan
terorganisir ini sulit dibongkar karena beberapa hal.
Pertama, pelakunya menggunakan
hubungan antara beberapa pelaku kunci dengan memecah kejahatan dalam beberapa
jenis terpisah, sehingga sulit dirangkai dalam satu kejahatan tunggal. Tiap
pelaku yang terlibat dalam tindak kejahatan itu saling mengembangkan jaringan.
Baik melalui koneksi pribadi, keluarga, bisnis ataupun melalui koneksi asosiasi
profesi dan politik; regional maupun internasional. Karena itu sulit mengetahui
siapa pelaku utama kejahatannya.
Kedua, karena hubungan dibangun
sifatnya mutualisme, para pelaku bersatu dalam menghadapi penyidikan atau
kemungkinan adanya tuntutan. Kecil kemungkinan salah satu pelaku
melaporkannya ke aparat berwenang. Omerta berlaku di sini. Diorganisir secara
rapi dan rahasia, penyelesaian masalah internal yang mereka lakukan juga
cenderung menggunakan hukum tak tertulis itu.
Ketiga, sangat sulit
mengidentifikasi atau bahkan tidak ada tempat kejadian perkara yang pasti.
Minim bukti forensik untuk mengidentifikasi pelaku. Bukti materiil seperti dokumen
transaksi dan aset yang diraup dari hasil KKN itu, dapat dialihkan kepada orang
lain untuk dikelola. Atau bahkan dapat dimusnahkan dalam posisi yang
benar-benar terjepit.
Seringkali para penegak hukum baru
mengetahui kejahatan tersebut setelah sekian lama terjadi. Sehingga jejak
kejahatan menjadi sumir; bukti-buktinya susah dilacak. Bahkan, para saksi telah
dibayar atau memiliki kesempatan panjang untuk membuat alibi-alibi palsu.
Transaksi yang dilakukan juga umumnya dilakukan secara tunai atau berupa aset.
Ini semua kian mempersulit pembuktikan.
Keempat, adanya backing dari
oknum aparat pemerintah berkuasa. Bahkan oknum ini menjadi mitra kunci Bos
Besar (god father) kejahatan dalam SIG itu, yang sama-sama mengendalikan
sebuah bisnis. Jaringan oknum pemerintah itu seringkali diatur secara
vertikal. Dari pejabat paling tinggi sampai pejabat rendah.
Dengan struktur rahasia ini, celah
penyelidikan dan penyidikan dapat dikunci. Pelaku yang merupakan orang berkuasa
dalam rezim politik seringkali menggunakan pengaruh kekuasaannya untuk
mencampuri penyidikan. Bahkan mengintimidasi para saksi. Atau menghalangi saksi
bekerja sama dengan aparat penegak hukum (justice collaburator). Tentu,
melalui tangan operator. Pucuk pimpinan tidak akan terlibat langsung.
Metamorfosis korporasi dalam SIG di
AS sebagai kejahatan sistemik itu telah lama menular di Indonesia. Formalnya
ditandai dengan gejala oligarki korporasi masuk dalam barisan partai politik.
Daftar mega kasus yang mewarnai jagat politik-hukum 2002-2014 menguatkan
praktik itu sudah “di-foto copy”. Sebut saja kasus KKN Komisi XI dengan para
petinggi BI yang menjerat Burhanuddin Abdullah, Agus Chondro sebagai justice
collaburator, Miranda Goeltom, dan sebagainya.
Juga penanganan skandal BLBI yang
tak kunjung tuntas di masa Megawati sampai SBY. Sampai dengan mega kasus Bank
Century, Hambalang, Migas, yang mengarah ke lingkaran inti SBY. Di balik
semuanya selalu ada pihak pengusaha dan backing penguasa. Kasus hukum
yang tidak tuntas dalam menjerat sejumlah taipan di atas makin menguatkan
kejahatan korporasi kelompok SIG ini.
Di rezim sekarang, beberapa taipan
hitam di atas mengelilingi Jokowi. Nama-nama itu diungkap oleh politisi senior
PDI Perjuangan sendiri: Kwik Kien Gie. Bisa jadi Jokowi menjadi media
titik temu Soekanto Tanoto dengan sang rival, Edwin Soeryadjaya, yang dulunya
bertikai memperebutkan Adaro.
Dari nama dia atas, yang
terang-benderang masuk dalam struktur kekuasaan adalah Sofjan Wanandi. Bos
Gemala Group dan Santini Group itu Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Kabarnya, dia menjadi palang pintu utama sejumlah investor asing. Termasuk
proyek infrastuktur yang gila-gilaan itu. Formalnya melalui Kepala BPKM, Franky
Sibarani, junior Sofjan Wanandi di Apindo.
Ada juga Rusdi Kirana. Bos Lion
Airlines ini sekarang menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Yang tak disangka: ada Jan Darmadi dalam barisan dewan itu. Bos judi dan
properti yang dekat dengan Soeharto ini lama tak nampak. Dulunya, dia sudah
seperti “TW-nya” era penguasa Orde Baru itu. Kemunculan Jan seakan
menjungkirbalik kalimat indah masa kampanye lalu, bahwa Jokowi bebas dari
warisan politik Orde Baru.Kelompok SIG para taipan yang
menyetir kekuasaan, bukan saja secara politik, praktis juga secara ekonomi.
Termasuk menguasai jagat penegakan hukum. Karena pada rezim sebelumnya mereka
telah teruji kebal. Jokowi bakal didikte habis-habisan. Tentu semua itu menjadi
lampu merah bagi kelangsungan demokrasi di Indonesia.
Dikawal Raksasa Bisnis, postur
Jokowi makin kekar. Tesis yang gembar-gembor dia akan jatuh kurang dari dua
tahun: terpatahkan. Tidak ada oposisi yang berarti. Gerinda sebagai poros utama
kubu Koalisi Merah Putih dipastikan tidak berdaya melawan frontal. Paling
banter, barangkali bagi Prabowo, bisnisnya tidak diganggu. Koalisi ini pecah!
Golkar, sebagai penyokong utamanya, di ambang genggaman pihak penguasa.
Penguasaan perekonomian Indonesia
masa sebelumnya yang hanya bertumpuk pada segelintir elit—pengusaha kakap,
pejabat negara, penegak hukum dan beberapa elit politik—nampaknya makin
dipersempit lagi dalam menikmati legitnya ekonomi.
Berbagai riset menyebutkan, dalam
dekade 2003-2013, sekitar 70 persen aset negara ini dikuasai etnis tertentu.
Sisanya baru dinikmati rakyat. Di era Jokowi, persentase ini bakal meningkat.
Kalau begini jadinya, Indonesia benar-benar dalam lilitan mafia (Indonesian
Review.com)