Diasuh Dangdut Rhoma Hingga Dewasa
Rabu, 30 Maret 2016
Edit
Rhoma Irama: Sihir Dangdut
Oleh Irfan R.Darajat
Jangan lupakan pesan si Raja
Dangdut: cinta, salat, dan silat.
ADISIS KECIL DIAJAK oleh ayahnya
menempuh perjalanan sekitar setengah jam dari Kertosono, satu kecamatan di
Nganjuk, menuju Jombang, Jawa Timur. Setiba di lokasi tujuan, telah berdiri
panggung megah di atas tanah lapang, disemuti banyak orang. Rhoma Irama, si Raja
Dangdut, akan tampil malam itu.
Adisis tidak tahu sama sekali siapa
penyanyi yang dikagumi ayahnya ini. Tetapi, sepulang dari sana, dengan
spontanitas anak kecil, Adisis minta kepada ayahnya untuk dibelikan kostum yang
sama persis dengan Rhoma. Rupa-rupanya pengalaman itu terus dia bawa hingga
dewasa.
Mirip putaran balik suatu nasib,
entah berkah atau kutukan, saya berjumpa Adisis 24 tahun sekian hari dari
peristiwa masa kecilnya itu. Tubuh Adisis telah dikurapi alunan irama dangdut
dengan seenaknya sendiri. Kendati, misalnya, 10 dari 10 orang yang kita pilih
secara acak tak mengenal Adisis. Atau, katakanlah, ada seseorang yang
mengenalnya; itu pun mungkin dari pekerjaannya sebagai pedagang buah. Adisis
berkata memang dari awal dia tak punya niatan sedikit pun untuk menggeser
takhta si Raja Dangdut. Dia akan cukup puas kalau bisa menjadi Pangeran
Dangdut.
Adisis mungkin tahu tapi menunggu.
Dan dunianya sampai sekarang bukanlah dalam layar televisi ataupun pentas di
perkampungan, melainkan (masih) di seputaran kampus. Namanya boleh jadi hanya
desas-desus, yang kadangkala patut kita perhatikan tapi sekaligus, pada saat
bersamaan, bisa pula kita abaikan.
Saya mulai mengenal Adisis dari
seorang kawan, yang mengatakan orkes dangdut yang dibikin Adisis bersama teman-temannya
khusus memainkan lagu-lagu Rhoma Irama.
“Enggak suka koplo?” Saya penasaran.
“Anti dia,” kata kawan saya.
Di gelanggang mahasiswa Universitas
Gadjah Mada, saya bertemu dengan Adisis, tepatnya mulai mencari cara untuk
mengajaknya mengobrol. Saya ke sana sebetulnya untuk ikut berproses bersama
teman-teman Teater Gadjah Mada. Pementasan tinggal dua minggu lagi. Suasana
latihan masih adem ayem dan, ketimbang panik sendirian, saya mulai berbual-bual
bersama Adisis.
Pesan lagunya tentang moral
Semula kebetulan belaka. Seorang
senior di Teater Gadjah Mada, Pak Suharyoso, dosen di Institut Seni Indonesia,
akan segera pensiun. Dia pernah menulis naskah drama berjudul Plin-Plan,
dan naskah itu dipilih sebagai persembahan untuk pentas perpisahannya. Banyak
lagu Rhoma Irama dalam naskah itu, menjadi elemen penting untuk progresi adegan
dan cerita, yang mau tidak mau, menuntut untuk dinyanyikan. Singkatnya, pentas
itu membutuhkan grup orkes dangdut, bukan lagu pengiring lewat pemutar musik.
Pementasan naskah itu bertemu
Adisis. Kuliah di jurusan Sastra Jawa—istilah resmi kampus dinamakan Sastra
Nusantara, menceburkan Adisis salah satunya dengan bergiat di Swagayugama,
sebuah unit mahasiswa yang memainkan gamelan. Beberapa alat musik tradisi
pernah dicicipinya, dari slentho, beralih ke slenthem, dan
terakhir, yang paling nyaman untuknya, adalah gerong (wiraswara atau
vokal laki-laki).
Iklim berkomunitas di satu tempat,
seyogyanya, harus saling mendukung komunitas lain. Secara kebetulan, nama Adisi
mengemuka lewat teman-teman Teater Gadjah Mada. Mereka bersaksi, tiada yang
lebih fasih menyanyikan lagu-lagu Rhoma Irama selain Adisis. Kebetulan lain,
Adisis tidak menampik ajakan mementaskan naskah Plin-Plan.
Segera kemudian Adisis membentuk
sebuah orkes dadakan dengan personel seadanya. Dia mengumpulkan teman-temannya:
Suluh mengisi gitar, Ardi di ketipung. Juga mencari teman lain untuk memainkan
seruling, bass, dan akordeon. Adisis mengajak pula kawannya, dipanggil Kenyut,
untuk berduet.
“Duet sama Kenyut itu asyik. Dia
main tamborin sambil joget. Kosa geraknya luwes,” katanya.
Bisa dibilang penampilan perdana
mereka cukuplah asoy. Di kali lain, ketika unit kegiatan
mahasiswa selam menghelat acara ulang tahun, orkes itu diminta untuk tampil
lagi. Responsnya juga asyik. Persoalan muncul kemudian—atau
sesungguhnya muncul dari keasyikan. Pikir Adisis, sayang juga kalau proyek
orkes ini dibiarkan.
Adisis kurang sreg dengan nama
sementara orkes ini, yakni “Tumini”, lebih semula tercetus dari iseng semata.
Berkat saran seorang teman, nama proyek orkes itu diganti: Orkes Melayu Dangdut
Pembangunan. Alasannya sederhana. Atau, khas gojek kere ala Yogyakarta
yang terdengar utak-atik gathuk. Adisis suka dengan tema-tema yang punya
kandungan moral, adapun orkes bentukannya memainkan lagu Rhoma Irama. Orkes
melayu Soneta, asuhan Rhoma, berkembang jaya di masa pemerintahan Soeharto,
yang getol banget mengumandangkan asas pembangunan.
Adisis sepakat. Dia menganggap
usulan itu masuk akal—bukan berarti dia juga sepakat dengan rezim Orba atau
setuju dengan sikap dan pandangan Rhoma dalam kehidupan nyata.Begitulah, tanpa pikir panjang,
Adisis memutuskan memakai nama tersebut. Selanjutnya, setiap acara yang dihelat
di Gelanggang, OMD Pembangunan selalu ambil panggung. Mereka telah menjadi
milik warga Gelanggang dan memang sejauh ini, mereka belum pernah manggung di
luar.
MASA KECIL KAMI, yang besar di perdesaan, bisa sangat mirip
bila bersentuhan dengan musik dangdut. Tetangga kami sama-sama sering mengepung
rumah kami dengan lagu-lagu Rhoma Irama.
Udara yang dibebani suara Rhoma ini,
di tempat saya di Purworkerto, mengalun dari rumah yang pemiliknya tengah
memilih barang rongsok, atau di rumah lain sedang memotong kayu untuk kusen
jendela dan pintu rumah. Lagu-lagu Rhoma menemani aktivitas kerja mereka.
Dengan perkakas bahana yang wah, dan lagu yang tak putus-putus, saya kadang
tertipu mengira sedang ada hajatan di rumah tetangga.
Sementara untuk pengalaman Adisis:
“Tetanggaku penjual kaset. Kaset Rhoma banyak. Hampir setiap hari aku dengar
lagu Rhoma.”
Selain lagu Rhoma, Adisi kerap
mendengar musik pop Indonesia atau tembang-tembang melayu. Semuanya terserah si
tetangga pengin memutar lagu apa, telinga Adisis cuma bisa patuh. Ditambah
lagi, ayah Adisis kerap menyetel kaset kasidahan. Dari sanalah, saya menimbang,
bagaimana musik yang tumbuh di masa remaja Adisis terus melekat di kepalanya.
Persoalan kesamaan perilaku tetangga
kami, di daerah masing-masing, membuat saya yakin, bahwa setidaknya di pulau
Jawa, Rhoma Irama memang merajai skena musik pop Indonesia mutakhir.
Oma Irama—nama lahir dari Rhoma—tak
diragukan telah berperan penting dalam tumbuh kembang musik dangdut.
Kemunculannya pada 1970 bersama Orkes Melayu Soneta telah mengubah skena musik
pop Indonesia. Di panggung, Soneta menghadirkan ketukan dangdut yang ritmis dan
goyang-able, mengganti instrumen akustik menjadi elektrik, dengan nuansa
rock (yang muncul karena Oma penggemar Deep Purple) membalut di sekujur lagu.
Dan satu hal yang tidak boleh kita lupakan: gitar buntung khas Oma dengan
petikan gitar (bending) yang sangat istiqomah. Itu telah membuat
semua orang rela menjadi rakyat dangdut, dan dia adalah rajanya.
Secara bertahap, popularitas dan
kesuksesan Oma terus menanjak. Kaset-kaset rekamannya membeludak di pasaran,
puluhan film dibintanginya. Variasi tema dalam penulisan lagunya mulai hadir.
Semula soal cinta dan hidup harian, dia mulai menambahkan unsur dakwah.
Tepatnya setelah Oma naik haji pada tahun 1975. Namanya juga sejak itu dia
tambahkan dengan sematan semacam gelar: R. H—Raden Haji.
Dalam satu wawancara, Rhoma
mengutarakan bahwa musik dangdut yang dibawanya kini merupakan perkembangan
dari musik Melayu, Deli, Sumatra Utara. Bercampur dengan irama gambus, irama
dari India, dan sedikit unsur musik Eropa (keroncong). Dia berhasil
memasyarakatkan dangdut dan mendangdutkan masyarakat. Dari semula disebut musik
kampungan hingga menjadi musik semua golongan. Dan pada 1990-an, musik dangdut
sempat diproyeksikan sebagai musik nasional. Ambil contoh, tahun 1995 grup
musik Ken Dedes—seluruh anggotanya perempuan—terbang ke Papua untuk
melangsungkan pentas di sana. Dangdut ada di mana-mana, bahkan berlipat ganda.
Sebaran musik dangdut ini mungkin
hanya bisa ditandingi, atau saling berpilin, oleh proyek transmigrasi.
Keduanya, dangdut dan tranmigrasi, mengisi nomenklatur politik Indonesia. Dan,
bagaimanapun, di masa post-goyang ngebor dan generasi alay, lagu-lagu Rhoma
masih saja berdengung di telinga kita.
Bisa dibilang, saya dan Adisis
adalah demografi besar dari anak-anak desa sebelum tahun 1990-an yang ditimang
oleh irama Bang Haji Rhoma.
“SELAIN RHOMA, penyanyi dangdut yang disuka siapa lagi?”
“Megi Z. Mansyur S,” kata Adisis.
“Elvi Sukaesih juga suka. Sama ini: Rita Sugiarto. Aku suka banget. Irama
melayu!”
Deret penyanyi dangdut itu berbeda
dari Rhoma. Kesemuanya memainkan irama yang lebih condong ke
pop-dangdut-melayu. Pembeda mencolok lain: tidak ada dari mereka yang memiliki
orkes dangdut pengiring yang dihidupkan bersama penyanyi pemimpinnya.
Adisis mengaku dia terkesima dengan
teks-teks yang dihadirkan oleh Rhoma Irama. Raja Dangdut ini bisa saja menulis
lagu-lagu cinta yang mengandung unsur CGSN (Cengeng, Gembeng, Sengsara,
Nelangsa) pada lagu ‘Kegagalan Cinta’, bicara soal fakir-miskinnya hidup
seorang tunawisma pada lagu ‘Gelandangan’, atau peliknya persoalan suami-istri
yang tak kunjung mendapat momongan lewat lagu ‘Mandul’. Tetapi, lebih dari itu,
dia juga bisa bicara soal perjudian, bicara bahaya minuman keras di lagu
‘Mirasantika’, mengajak hidup sehat dan tidur secara teratur lewat lagu
‘Begadang’.
“Raden Haji Oma Irama. Rhoma Irama.
Jenius!” ucap saya di tengah obrolan kami yang selalu takjub meski telah
berulang kali mengetahui fakta macam itu. Dalam satu putaran percakapan, kami
menyinggung soal dangdut koplo. Ini adalah sebuah variasi irama dangdut
yang muncul spektakuler selama satu dasawarsa terakhir. Iramanya berkembang
dari dangdut daerah, diawali dari sumbangan penting wilayah pesisir pantai
utara Jawa. Yang paling mudah menautkan ingatan kita kepada model dangdut koplo
adalah kemunculan Inul Daratista yang menuai kontroversi tahun 2003—bahkan
mendapatkan gugatan dari si Raja Dangdut sendiri karena ukuran moralitasnya
tidak berpadu melihat goyangan Inul. Era ini juga ditandai dengan kian naiknya
kesalehan pribadi digembar-gemborkan secara histeris, menuai hasilnya lewat apa
yang dinamakan “Perda Syariah” di lapangan politik, di pelbagai daerah, dan
patokan penting lain disahkannya UU Pornografi tahun 2008.
Namun, perkembangan dangdut pantura
yang kita hadapi sekarang pun telah berkembang dari apa yang mulanya
dipopulerkan Inul. Orkes dangdut koplo tidak melulu hadir dengan biduan
perempuan yang memiliki senjata goyangan yang namanya beraneka ragam (dari
goyang gergaji, goyang kayang, goyang dribel, atau goyang parabola). Mereka
hadir dengan format orkes melayu yang jika diamati memiliki kesamaan pola
dengan orkes melayu yang dibentuk oleh Rhoma. Semuanya nyaris sama, kecuali
instrumen mandolin dan ketukan kendang. Dangdut koplo memiliki ketukan yang
lebih cepat, rancak, dan ritmis.
“Aku bukannya anti-dangdut koplo.
Siapa sih yang bisa tahan kalau dengar ketukannya?!” kata Adisis.
“Cuma, cara tutur di liriknya itu,
lho, aku enggak cocok. Kalau Rhoma itu kan masih dipikir pemilihan katanya.
Lha, kalau koplo itu kayak ceplas-ceplos bahasanya. Suka saru dan
sedikit ngawur.”
Latar belakang Adisis yang pernah
mengenyam pendidikan pesantren dan asupan irama kasidah dari ayahnya membuat
lirik yang dihadirkan oleh dangdut koplo mental dari telinganya. Sopan,
santun, moralitas, dan sisi puitis dalam pemilihan kata diperhatikan betul oleh
Adisis. Itu yang bikin dia jatuh cinta sama Rhoma Irama.Adisis menyanyikan sepotong lirik
‘Judi’: Perdukunan ramai menyesatkan. Dia berkomentar kemudian, “Lho, coba.
Enak banget itu!”
Naiknya popularitas lagu-lagu koplo,
menurut Adisis, membawa kondisi dangdut saat ini mengalami krisis penyanyi
pria. Tentu saja kita mengenal Thomas Djorgi dengan ‘Sembako Cinta’-nya, Saipul
Jamil, atau Nassar. Tetapi, bahkan, untuk mendekati kualitas almarhum Megi
Z.—yang meski lagu-lagunya sangat lekat dengan unsur CGSN—generasi lebih baru
ini dibandingkan saja belum layak. Lagipula, menurut Adisis, lagu-lagu yang
dinyanyikan di panggung dangdut koplo mengisyaratkan kalau lagu itu ditulis
dengan mengandung unsur kegenitan, dan memang ditujukan untuk penyanyi
perempuan.
“Aku pernah nyanyi lagu ‘Masa Lalu’.
Kaku rasanya,” kata Adisis.
Lagu ‘Masa Lalu’ dipopulerkan Inul
Daratista tahun 2013 dan kini seakan jadi lagu wajib dangdut koplo. Penulis
lagunya—sebagaimana sering terjadi pada proses produksi dangdut koplo—misterius
dan simpang siur; ada yang menyebut seseorang bernama Bayusiwa, tapi sumber
lain menyebut Miswan Samudra. Yang jelas lagu ini, setelah dipopulerkan Inul,
dikidungkan kembali oleh OM. Sera lewat Via Vallen, dibikin asoy oleh
OM. Sonata lewat Deviana Safara, dan digabung dengan aksi akrobatik oleh Trio
Endel.
“Masa lalu biarlah masa lalu /
Jangan kau ungkit, jangan ingatkan aku / Masa lalu biarlah masa lalu /
Sungguh hatiku tetap cemburu,” gumam saya melantunkan bait refrain serta-merta
tanpa perintah.
Sambil menahan cengengesan, saya
mulai singgung kehidupan Rhoma Irama yang sopan dan gemar berdakwah di lagu dan
di atas panggung, namun flamboyan di kehidupan nyata, dan fundamentalis dalam
pandangan politiknya.
“Ya, kalau dipikir-pikir dia pasti
mahir merayu. Lihat saja lirik-liriknya,” ucap Adisis.
“Kenapa sih Rhoma itu kelakuannya
enggak kaya di lagu-lagunya?! Jengkel aku!”
“Kalau Rhoma maju jadi presiden
gimana?”
“Ha-ha. Konyol itu!”
Adisis memendam rasa kesal. Itu
membuatnya membagi dua sosok Rhoma Irama. Rhoma yang dia kagumi adalah irama
yang muncul dalam lagu-lagu yang ditulisnya, yang puitis dan militan memainkan
gitar dan menyanyi, yang mengagungkan agama dan suka menyampaikan dakwah lewat
lagu meski cuma satu ayat, yang gagah dan pandai bertarung dan tak pernah kalah
demi menegakkan kebenaran dalam film-filmnya—mirip film-film Steven Seagal atau
Chuck Norris, sebetulnya, tentu saja minus irama dangdut.
“Cinta, salat, dan silat. Tiga hal
itu yang seringkali kita masih luput,” tegas Adisis.
Saya seketika menatap lantai.
ADISIS, betapapun senang menyanyi, tak pandai bermain gitar.
Di unit kegiatan mahasiswa yang menggauli seni karawitan dan tari klasik gaya mataraman
Yogyakarta, dia hanya menguasai slenthem, sebuah alat musik dari
lembaran lebar logam tipis yang diuntai dengan tali dan direntangkan di atas
tabung-tabung dan menghasilkan dengungan rendah atau gema. Pernah sekali dia
membeli gitar dengan uang hasil usahanya sendiri, semasa SMA. Belum tangkas
belajar memainkannya, dia keburu diminta ayahnya untuk lekas menjualnya. Meski
ayahnya adalah orang yang pertama kali mengenalkannya kepada Rhoma Irama, tapi
dia tidak pernah sepakat kalau Adisis jadi pemusik.
“Aku cuma bisa main kunci C, F, sama
G. Lagu yang bisa, ya cuma ‘Sewu Kuto’, sama satu lagu dari Jamrud.”
Kini, setelah proyek orkes
dangdutnya yang bisa dibilang sekadar hobi—bahkan mungkin menjauhi cita-cita
Adisis untuk pengin jadi Pangeran Dangdut, bagaimanapun, bagi saya, ia berbeda
dari sejumlah orkes lain yang pernah lahir di lingkungan teater dan kampus.
Orkes Melayu Dangdut Pembangunan, misalnya, tidak memiliki kecenderungan untuk
menjadi orkes dangdut lawak, seperti pendahulunya.
Sebut saja Orkes Moral Pancaran
Sinar Petromaks (1970-an), Orkes Madun Pengantar Minum Racun (1980-an), atau
KornChonk Chaos (2000-an). Modus mereka adalah menggunakan musik berunsur
dangdut, digenapi tema-tema kritik sosial, dan dibungkus parodi. Sebaliknya,
OMD Pembangunan memainkan musik dangdut secara serius—ditarik dengan napas
lagu-lagu Rhoma Irama yang sarat pesan moral dan dakwah.
Saya melihat Adisis mulai mengenakan
jaket, merapikan baju, dan memakai tas pinggang. Malam itu, usai kami
berbual-bual, dia harus berangkat ke Kaligesing, sebuah kecamatan di Kabupaten
Purworejo, tempat dia menjalankan usaha untuk menyambung hidupnya.
Selama beberapa tahun terakhir ini
Adisis berhubungan dengan petani buah untuk didistribusikan ke kota. Buah yang
ditawarkannya disebut “Buah Nusantara”. Berbeda dengan buah lokal, dia
menggunakan rujukan teks semasa kuliahnya untuk mengategorikan ragam buah yang
dijualnya.
“Kapan panggung terdekat OMDP?”
tanya saya.
“Personelnya lagi ke luar kota.
Enggak tahu kapan manggung lagi. Tunggu aja, siapa tahu ada acara di
Gelanggang.”
Adisis lantas menyalakan sepeda
motor. Ditunggunya mesin motor panas. Sebatang rokok masih menempel di bibirnya
ketika dia mengecek tekanan angin pada roda ban. Latihan teater yang harus saya
ikuti malam ini rupanya diundur besok.
Sebelum dia pergi, saya pamit.*
(Pindai.org)